Pararatón
|
= 01 =
KITAB
ATAU KISAH KEN ANGROK.
Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir Alam,
Semoga tak ada halangan, Sudjudku sesempurna sempurnanya. I. Demikian inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanja, ia didjadikan manusia: Adalah seorang anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik, memutus - mutus tali kekang kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib; pergilah ia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak. Nama yang dipertuan di Bulalak itu: Kata Tapawangkèng: "Tak akan berhasil berpusing kepala, akhirnya ini akan menjebabkan diriku jatuh kedalam dosa, kalau sampai terjadi aku membunuh manusia, tak akan ada yang dapat menyelesaikan permintaan korban kambing merah itu." Kemudian orang yang memutus mutus tali kekang kesusilaan tadi berkata, sanggup mejadi korban pintu Mpu Tapawangkeng, sungguh ia bersedia dijadikan korban, agar ini dapat menjadi lantaran untuk dapat kembali ke surga dewa Wisnu dan menjelma lagi didalam kelahiran mulia, ke alam tengah lagi, demikianlah permintaannya. Demikianlah ketika ia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, agar dapat menjelma, disetujui inti sari kematiannya, akan menikmati tujuh daerah. Sesudah mati, maka ia dijadikan korban oleh Mpu Tapawangkeng. Selesai itu, ia terbang ke surga Wisnu, dan tidak bolak inti perjanjian yang dijadikan korban, ia meminta untuk dijelmakan di sebelah timur Kawi. Dewa Brahma melihat lihat siapa akan dijadikan temanya bersepasang. Sesudah demikian itu, adalah mempelai baru, sedang cinta mencintai, yang laki laki bernama Gajahpara, yang perempuan bernama Ken Endok, mereka ini bercocok tanam. Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, yalah: si Gadjahpara; nama sawah tempat ia: mengirim : Ayuga; desa Ken Endok bernama Pangkur. Dewa Brahma turun kesitu, bertemu dengan Ken Endok, pertemuan mereka kedua ini terdjadi di ladang Lalaten; dewa Brahma mengenakan perjanjian kepada isteri itu: "Jangan kamu bertemu dengan lakimu lagi, kalau kamu bertemu dengan suamimu, ia akan mati, lagi pula akan tercampur anakku itu, nama anakku itu: Ken Angrok, dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa". Dewa Brahma lalu menghilang. Ken Endok lalu ke sawah, berjumpa dengan Gajahpara. Kata Ken Endok: "Kakak Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya ditemani didalam pertemuan oleh Hyang yang tidak tampak di ladang Lalateng, pesan beliau kepadaku: jangan tidur dengan lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia memaksa tidur dengan kamu, dan akan tercampurlah anakku itu. Lalu pulanglah Gajahpara, sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan ditemani didalam pertemuan lagi. Ken Endok segan terhadap Gajahpara. "Wahai, kakak Gajahpara putuslah perkawinanku dengan kakak, saya takut kepada perkataan Sang Hyang. Ia tidak mengijinkan aku berkumpul dengan kakak lagi." Kata Gadjahpara: "Adik, bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat, nah tak berkeberatan saya, kalau saya harus bercerai dengan kamu; adapun harta benda pembawaanmu kembali kepadamu lagi, adik, harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi". Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara, dan Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara di seberang selatan. Belum genap sepekan kemudian matilah Gajahpara. Kata orang yang mempercakapkan: "Luar biasa panas anak didalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian orang tua laki laki perempuan sudah diikuti, orang tua laki laki segera meninggal dunia". Akhirnja sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki, dibuang di kuburan kanak kanak oleh Ken Endok. Selanjutnya ada seorang pencuri, bernama Lembong, tersesat di kuburan anak anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong, mendengar anak menangis, setelah didekati oleh Lembong itu, nyatalah yang menyala itu anak yang menangis tadi, diambil diambin dan dibawa pulang diaku anak oleh Lembong. Ken Endok mendengar, bahwa Lembong memungut seorang anak, teman Lembonglah yang memberitakan itu dengan menyebut nyebut anak, yang didapatinya di kuburan kanak kanak, tampak bernyala pada waktu malam hari. Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri. Kata Ken Endok: "Kakak Lembong, kiranya tuan tidak tahu tentang anak yang tuan dapat itu, itu adalah anak saya, kakak, jika kakak ingin tahu riwayatnya, demikianlah: Dewa Brahma bertemu dengan saya, jangan tuan tidak memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan, anak itu beribu dua berayah satu, demikian persamaannya." Lembong beserta keluarganya semakin cinta dan senang, lambat laun anak itu akhirnya menjadi besar, dibawa pergi mencuri oleh Lembong. Setelah mencapai usia sebaya dengan anak gembala, Ken Angrok bertempat tinggal di Pangkur. Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda Lembong, habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok. Kemudian ia menjadi anak gembala pada yang dipertuan di Lebak, menggembalakan sepasang kerbau, lama kelamaan kerbau yang digembalakan itu hilang, kerbau sepasang diberi harga delapan ribu oleh yang dipertuan di Lebak, Ken Angrok sekarang dimarahi oleh orang tua laki laki dan perempuan, kedua duanya: "Nah buyung, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal kamu tidak pergi saja, kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak tanggungan pada yang dipertuan di Lebak". Akhirnya tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi, kedua orang tuanya ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Lalu Ken Angrok pergi mencari perlindungan di Kapundungan; Orang yang diungsi dan dimintai tempat berlindung tak menaruh belas kasihan. Ada seorang penjudi permainan Saji berasal dari Karuman, bernama Bango Samparan, kalah bertaruhan dengan seorang bandar judi di Karuman, ditagih tak dapat membayar uang, Bango Samparan itu pergi dari Karuman, berjiarah ke tempat keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa, disuruh pulang ke Karuman lagi. "Kami mempunyai anak yang akan dapat menyelesaikan hutangmu ia bernama Ken Angrok." Pergilah Bango Samparan dari Rabut Jalu, berjalan pada waktu malam, akhirnya menjumpai seorang anak, dicocokkan oleh Bango Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah itu Ken Angrok, dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh Bango Samparan. Dia itu lalu ketempat berjudi, bandar judi ditemui oleh Bango Samparan dilawan berjudi, kalahlah bandar itu, kembali kekalahan Bango Samparan, memang betul petunjuk Hyang itu, Bango Samparan pulang, Ken Angrok dibawa pulang oleh Bango Samparan. Bango Samparan berbayuh dua orang bersaudara, Genuk Buntu nama istri tuanja. dan Tirtaya nama isteri mudanja. Adapun nama anak anaknya dari isteri muda, yalah Panji Bawuk, anak tengah Panji Kuncang, adiknya ini Panji Kunal dan Panji Kenengkung, bungsu seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken Angrok diambil anak oleh Genuk Buntu. Lama ia berada di Karuman, tidak dapat sehati dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi dari Karuman. Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang anak gembala anak tuwan Sahaja, kepala desa tertua di Sagenggeng, bernama Tuwan Tita; ia bersahabat karib dengan Ken Angrok. Tuwan Tita dan Ken Angrok sangat cinta mencinta, selanjutnya Ken Angrok bertermpat tinggal pada Tuwan Sahaja, tak pernah berpisahlah Ken Angrok dan Tuwan Sahaja itu, mereka ingin tahu tentang bentuk huruf huruf, pergilah ke seorang guru di Sagenggeng, sangat ingin menjadi murid, minta diajar sastera. Mereka diberi pelajaran tentang bentuk bentuk bentuk dan penggunaan pengetahuan tentang huruf huruf hidup dan huruf huruf mati, semua perobahan huruf, juga diajar tentang sengkalan, perincian hari tengah bulan, bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari sembilan, nama nama minggu. Ken Angrok dan Tuwan Tita kedua duanya pandai diajar pengetahuan oleh Guru. Buahnya sangat lebat, sungguh padat karena sedang musimnya, dijaga baik tak ada yang diijinkan memetik, tak ada yang berani mengambil buah jambu itu. Kata guru: "Jika sudah masak jambu itu, petiklah". Ken Angrok sangat ingin, melihat buah jambu itu, sangat dikenang kenangkan buah jambu tadi. Setelah malam tiba waktu orang tidur sedang nyenyak nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini keluarlah kelelawar dari ubun ubun Ken Angrok, berbondong bondong tak ada putusnya, semalam malaman makan buah jambu sang guru. Pada waktu paginya buah jambu tampak berserak serak di halaman, diambil oleh pengiring guru. Ketika guru melihat buah jambu rusak berserakan di halaman itu, maka rnendjadi susah. Kata guru kepada murid murid: "Apakah sebabnya maka jambu itu rusak." Menjawablah pengiring guru: "Tuanku rusaklah itu, karena bekas kelelawar makan jambu itu". Kemudian guru mengambil duri rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalam malaman. Ken Angrok tidur lagi diatas balai balai sebelah selatan, dekat tempat daun ilalang kering, di tempat ini guru biasanya menganyam atap. Menurut penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong bondong, keluar dari ubun ubun Ken Angrok, semuanya makan buah jambu guru, bingunglah hati guru itu, merasa tak berdaya mengusir kelelawar yang banyak dan memakan jambunya, marahlah guru itu, Ken Angrok diusir oleh guru, kira kira pada waktu tengah malam guru rnengusirnya. Ken Angrok terperanjat, bangun terhuyung huyung, lalu keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar. Ketika guru menengoknya keluar, ia melihat ada benda menyala di tengah ilalang, guru terperanjat mengira kebakaran, setelah diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok, ia disuruh bangun, dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi, menurutlah Ken Angrok pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi paginya ia disuruh mengambil buah jambu oleh guru, Ken Angrok senang. katanya : "Aku mengharap semoga aku menjadi orang, aku akan membalas budi kepada guru." Lama kelamaan Ken Angrok telah menjadi dewasa, menggembala dengan Tuwan Tita, membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng, di ladang Sanja, dijadikan tempatnya untuk menghadang orang yang lalu lintas di jalan, dengan Tuwan Titalah temannya. Adalah seorang penyadap enau di hutan orang Kapundungan, mempunyai seorang anak perempuan cantik, ikut serta pergi ke hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani didalam pertemuan didalam hutan, hutan itu bernama Adiyuga. Makin lama makin berbuat rusuhlah Ken Angrok, kemudian ia memperkosa orang yang melalui jalan, hal ini diberitakan sampai di negara Daha, bahwasanya Ken Angrok berbuat rusuh itu, maka ia ditindak untuk dilenyapkan oleh penguasa daerah yang berpangkat akuwu, bernama Tunggul Ametung. Pergilah Ken Angrok dari Sagenggêng, mengungsi ke tempat keramat. Rabut Gorontol. "Semoga tergenang didalam air, orang yang akan melenyapkan saya" kutuk Ken Angrok, semoga keluar air dan tidak ada, sehingga terdjadilah tahun tak ada kesukaran di Jawa." Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke Wayang, ladang di Sukamanggala. Ia heran, melihat tumbuh tumbuhan katu sebesar beringin, dari situ lari mengungsi ke Jun Watu, daerah orang sempurna, mengungsi ke Lulumbang, bertempat tinggal pada penduduk desa, keturunan golongan tentara, bernana Gagak Uget. Lamalah ia bertempat tinggal disitu, memerkosa orang yang sedang rnelalui jalan. Ia lalu pergi ke Kapundungan, mencuri di Pamalantenan, ketahuanlah ia, dikejar dikepung, tak tahu kemana ia akan mengungsi, ia memanjat pohon tal, di tepi sungai, setelah siang, diketahui, bahwasanya ia memanjat pohon tal itu, ditunggu orang Kepundungan dibawah, sambil dipukulkan canang, Pohon tal itu ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya. Sekarang hi menangis, menyebut nyebut Sang Pentjipta Kebaikan atas dirinya, akhirnya ia mendengar sabda dari angkasa, ia disuruh memotong daun tal, untuk didjadikan sayapnya kiri kanan, agar supaya dapat melayang ke seberang timur, mustahil ia akan mati, lalu ia memotong daun tal mendapat dua helai, dijadikan sayapnya kiri kanan, ia melayang keseberang timur, dan mengungsi ke Nagamasa, diikuti dikejar, mengungsilah ia kedaerah Oran masih juga dikejar diburu, lari mengungsi ke daerah Kapundungan, yang dipertuan di daerah Kapundungan didapatinya sedang bertanam, Ken Angrok ditutupi dengan cara diaku anak oleh yang dipertuan itu. Anak yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam, banyaknya enam orang, kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan empangan, tinggal 1ima orang; yang sedang pergi itu diganti menanam oleh ken Angrok, datanglah yang mengejarnya, seraya berkata kepada penguasa daerah: "Wahai, tuan kepala daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar, tadi mengungsi kemari." meanjawablah penguasa daerah itu: "Tuan tuan, kami tidak sungguh bohong kami tuan, ia tidak disini; anak kami enam orang, yang sedang bertanam ini genap enam orang, hitunglah sendiri saja, jika lebih dari enam orang tentu ada orang lain disini" Kata orang-orang yang mengejar: "Memang sungguh, anak penguasa daerah enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang." Segera pergilah yang mengejar. Kata penguasa daerah kepada ken Angrok: "Pergilah kamu, buyung, jangan jangan kembali yang mengejar kamu, kalau kalau ada yang membicarakan kata kataku tadi, akan sia sia kamu berlindung kepadaku, pergilah mengungsi ke hutan". Maka kata ken Angrok: "Semoga berhenti lagilah yang mengejar, itulah sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi di dalam hutan, Patangtangan nama hutan itu. Selanjutnya ia mengungsi ke Ano, pergi ke hutan Terwag. ia semakin merusuh. Adalah seorang kepala lingkungan daerah Luki akan melakukan pekerjaan membajak tanah, berangkatlah ia membajak ladang, mempesiapkan. tanahnya untuk ditanami kacang, membawa nasi untuk anak yang menggembalakan lembu kepala Lingkungan itu, dimasukkin kedalam tabung bambu, diletakkan diatas onggokan; sangat asyiklah kepala Lingkungan itu, selalu membajak ladang kacang saja, maka dirunduk diambil dan dicari nasinya oleh Ken Angrok, tiap tiap hari terdjadi demikian itu, kepala Lingkungan bingunglah, karena tiap tiap hari kehilangan nasi untuk anak gembalanya, kata kepala Lingkungan: "Apakah sebabnya maka nasi itu hilang". |
Pararatón
|
= 02 =
Sekarang nasi anak gembala kepala Lingkungan di tempat membajak itu diintai, dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama kemudian Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: "Terangnya, kamulah, buyung, yang nengambil nasi anak gembalaku tiap tiap hari itu,"
Ken Angrok menjawab: "Betullah tuan kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil nasi anak gembala tuan tiap-tiap hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan.." Kata kepala Lingkungan: "Nah buyung. datanglah ke asramaku, kalau kamu lapar, mintalah nasi tiap tiap hari, memang saya tiap tiap hari mengharap ada tamu datang". Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk pauk. Kata kepala lingkungan kepada isterinya: "Nini batari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang kemari, meskipun saya tak ada di rumah juga, lekas lekas terima sebagai keluarga, kasihanilah ia" diceriterakan, Ken Angrok tiap tiap hari datang, seperginya dari situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet. Ada seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon, bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa tertua di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang barang emas dengan sesempurna sesempurnanya, sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan melakukan perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok. Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat beristirahat. Kata ken Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai, akan pergi kemanakah tuanku ini," Kata Mpu, menjawabnya: "Saya sedang bepergian dari Kebalon, buyung, akan pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir mikir ada orang yang melakukan perkosaan dijalan, bernama Ken Angrok". Tersenyumlah Ken Angrok: "Nah Tuan, anaknda ini akan menghantarkan pulang tuan, anaknda nanti yang akan melawan kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang bernama ken Angrok itu, laju sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir." Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang barang emas, lekas pandai, tak kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot, selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama Turyantapada dinamakan daerah Bapa. Demikianlah Ken Angrok mengaku ayah kepada Mpu Palot, karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh menyempurnakan kepandaiaan membuat barang barang emas pada orang tertua di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang ditinggalkan oleh bapak kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon. Ken Angrok lalu marah : "Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini," Ken Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di Kebalon, dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua, para guru Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu, bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu itu, maksud para petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok. Segera mendengar suara dari angkasa: "Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini." Demikan1ah suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa. Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti sedia kala. Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: "Semoga tak ada petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat benda-benda emas". Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke daerah lingkungan Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas. Ken Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju ke daerah desa Tugaran, Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh belas digangguilah orang Tugaran oleh Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya didukung diletakkan di daerah lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan kepala tertua di Tugaran itu, sedang menanam kacang di sawah kering. Gadis ini lalu ditemani didalam pertemuan oleh Ken Angrok, lama kelamaan tanaman kacang menghasilkan berkampit kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran benihnya mengkilat besar dan gurih. Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa lagi. Kata ken Angrok: "Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini. Di Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju ke gunung Pustaka. Ia pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di Limbehan menaruh belas kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berjiarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan. Kepadanya turun petunjuk dewa, disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama, para dewa bermusyawarah berrapat; Demikian ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: "Saya akan membantu menyembunyikan kamu, buyung, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa dewa bermusyawarah." Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu. Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke tempat musyawarah. Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan. Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya, berdengung dengung bergemuruh. Adapun inti musyawarah para dewa: "Yang rnemperkokoh nusa Jawa, daerah manalah mestinya." Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan: "Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa," demikian pertanyaan para dewa semua. Menjawablah dewa Guru: "Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh tanah Jawa." Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat, oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanja ada brahmana di sebelah timur Kawi. Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok. Kata Dang Hyang Lohgawe: " Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja. Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku memuja". Menjawablah Ken Angrok: "Betul tuan, anaknda bernama Ken Angrok." Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana saja kamu pergi." Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu. Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata Tunggul Ametung: "Selamatlah tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan." Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu". Menjawablah Tunggul Ametung: "Nah, senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda ini". Demikianlah kata Tunggul Ametung. Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu, Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat gads cantik itu. Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggu1 Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: "Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan. Demikian kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar." Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen. Setelah datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja Ken Dedes menampakkan gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji; Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat. Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: "Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu". Dang Hyang menjawab: " Siapa itu, buyung". Kata Ken Angrok: " Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba". Kata Dang Hyang: "Jika ada perempuan yang demikian, buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama, buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi maharaja." Ke Angrok diam, akhirnya berkata: "Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan mengijinkan." Jawab Dang Hyang: " Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri." Kata Ken Angrok: "Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan." Sang Brahmana menjawab: "Akan kemana kamu buyung?" Ken Angrok menjawab: " Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Kata Dang Hyang: "Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, buyung." Kata Ken Angrok: "Apakah perlunya hamba lama disana." Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. "Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi." Ken Angrok menjawab: "Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Adapun sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba. Kata Sang Brahmana: "Itu yang disebut seorang perempuan ardana reswari, sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperisterinya, akan dapat menjadi maharaja." Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar supaya anaknda menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang, Kata Dang Hyang: "Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu sendiri." Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta ijin kepada bapa, sang akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba." Menjawablah Bango Samparan: "Nah, baiklah kalau demikian, saya memberi ijin, bahwa kamu akan menusuk keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu, tetapi hanya saja, buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak dapat luka, jika kamu tusuk keris yang kurang bertuah. Saya ada seorang teman, seorang pandai keris di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah kamu menyuruh membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai dengan itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara rahasia." Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok. kata Ken Angrok: "Hamba memohon diri, Bapa, akan pergi ke Lulumbang." Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang, bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken Angrok datang lalu bertanya: "Tuankah barangkali yang bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai didalam waktu |
Pararatón
|
= 03 =
Kata Mpu Gandring: "Jangan
Ken Angrok berkata: "Nah, biar bagaimana mengasahnya, hanya saja, hendaknya selesai didalam Ken Angrok pergi dari Lulumbang, ke Tumapel bertemu dengan Dang Hyang Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok: "Apakah sebabnya kamu lama di Tumapel itu." Sesudah genap Pergilah ia ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang mengasah dan memotong motong keris pesanan Ken Angrok. Kata Ken Angrok: "Manakah pesanan hamba kepada tuan Gandring." Menjawablah Gandring itu: "Yang sedang saya asah ini, buyung Angrok." Keris diminta untuk dilihat oleh Ken Angrok. Katanya dengan agak marah: "Ah tak ada gunanya aku menyuruh kepada tuan Gandring ini, bukankah belum selesai diasah keris ini, memang celaka, inikah rupanya yang tuan kerjakan selama Menjadi panas hati Ken Angrok, akhirnya ditusukkan kepada Gandring keris buatan Gandring itu. Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang berbelah menjadi dua, diletakkan pada landasan penempa, juga ini berbelah menjadi dua. Kini Gandring berkata: "Buyung Angrok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh orang raja akan mati karena keris itu." Sesudah Gandring berkata demikian lalu meninggal. Sekarang Ken Angrok tampak menyesal karena Gandring meninggal itu, kata Ken Angrok: "Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku melimpah, juga kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang." Lalu pulanglah Ken Angrok ke Tumapel. Pada waktu itu Kebo Hijo melihat bahwa Ken Angrok menyisip keris baru, berhulu kayu cangkring masih berduri, belum diberi perekat, masih kasar, senanglah Kebo Hijo melihat itu. Ia berkata kepada Ken Angrok: " Wahai kakak, saya pinjam keris itu." Diberikan oleh Ken Angrok, terus dipakai oleh Kebo Hijo, karena senang memakai melihatnya itu. Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Hijo, tidak orang Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo Hijo menyisip keris baru dipinggangnya. Tak lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok dan dapat diambil oleh yang mencuri itu. Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari pergi kedalam rumah akuwu, saat itu baik, sedang sunyi dan orang orang tidur, kebetulan juga disertai nasib baik , ia menuju ke peraduan Tunggul Ametung, tidak terhalang perjalanannya, ditusuklah Tunggul Ametung oleh Ken Angrok, tembus jantung Tunggul Ametung, mati seketika itu juga. Keris buatan Gandring ditinggalkan dengan sengaja. Sekarang sesudah pagi pagi keris yang tertanam didada Tunggul Ametung diamat amati orang, dan oleh orang yang tahu keris itu dikenal keris Kebo Hijo yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja. Kata orang Tumapel semua: "Terangnya Kebo Hijolah yang membunuh Tunggul Ametung dengan secara rahasia, karena memang nyata kerisnya masih tertanam didada sang akuwu di Tumapel. Kini Kebo Hijo ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk dengan keris buatan Gandring, meninggallah Kebo Hijo. Kebo Hijo mempunyai seorang anak, bernama Mahisa Randi, sedih karena ayahnya meninggal, Ken Angrok menaruh belas kasihan kepadanya, kemana mana anak ini dibawa, karena Ken Angrok luar biasa kasih sayangnya terhadap Mahisa Randi. Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken Angrok memang sungguh sungguh menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah mereka saling hendak menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah laku Ken Angrok, demikian juga semua keluarga Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa apa, akhirnya Ken Angrok kawin dengan Ken Dedes. Pada waktu ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, dia ini telah mengandung tiga bulan, lalu dicampuri oleh Ken Angrok. Ken Angrok dan Ken Dedes sangat cinta mencintai. Telah lama perkawinannya. Setelah genap bulannya Ken Dedes melahirkan seorang anak laki laki, lahir dari ayah Tunggul Ametung, diberi nama Sang Anusapati dan nama kepanjangannya kepanjiannya Sang Apanji Anengah. Setelah lama perkawinan Ken Angrok dan Ken Dedes itu, maka Ken Dedes dari Ken Angrok melahirkan anak laki laki, bernama Mahisa Wonga Teleng, dan adik Mahisa Wonga Teleng bernama Sang Apanji Saprang, adik panji Saprang juga laki laki bernama Agnibaya, adik Agnibaya perempuan bernama Dewi Rimbu, Ken Angrok dan Ken Dedes mempunyai empat orang anak. Ken Angrok mempunyai isteri muda bernama Ken Umang, ia melahirkan anak laki laki bernama panji Tohjaya, adik panji Tohjaya, bernama Twan Wregola, adik Twan Wregola perempuan bernama Dewi Rambi. Banyaknya anak semua ada 9 orang, laki laki 7 orang, perempuan 2 orang. Sudah dikuasailah sebelah timur Kawi, bahkan seluruh daerah sebelah timur Kawi itu, semua takut terhadap Ken Angrok, mulailah Ken Angrok menampakkan keinginannya untuk menjadi raja, orang orang Tumapel semua senang, kalau Ken Angrok menjadi raja itu. Kebetulan disertai kehendak nasib, raja Daha, yalah raja Dandhang Gendis, berkata kepada para bujangga yang berada di seluruh wilayah Daha, katanya: "Wahai, tuan tuan bujangga pemeluk agama Siwa dan agama Budha, apakah sebabnya tuan tuan tidak menyembah kepada kami, bukanlah kami ini semata mata Batara Guru." Menjawablah para bujangga di seluruh daerah negara Daha: "Tuanku, semenjak jaman dahulu kala tak ada bujangga yang menyembah raja." demikianlah kata bujangga semua. Kata Raja Dandhang Gendis: "Nah, jika semenjak dahulu kala tak ada yang menyembah, sekarang ini hendaknyalah kami tuan sembah, jika tuan tuan tidak tahu kesaktian kami, sekarang akan kami beri buktinya." Kini Raja Dandhang Gendis mendirikan tombak, batang tombak itu dipancangkan kedalam tanah, ia duduk di ujung tombak, seraya berkata: "Nah, tuan tuan bujangga, lihatlah kesaktian kami." Ia tampak berlengan empat, bermata tiga, semata mata Batara Guru perwujudannya, para bujangga di seluruh daerah Daha diperintahkan menyembah, semua tidak ada yang mau, bahkan menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel, menghamba kepada Ken Angrok. Itulah asal mulanya Tumapel tak mau tahu negara Daha. Tak lama sesudah itu Ken Angrok direstui menjadi raja di Tumapel, negaranya bernama Singasari, nama nobatannya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, disaksikan oleh para bujangga pemeluk agama Siwa dan Budha yang berasal dari Daha, terutama Dang Hyang Lohgawe, ia diangkat menjadi pendeta istana, adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok, dahulu sewaktu ia sedang menderita, semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi belas balasan atas budi jasanya, misalnya Bango Samparan, tidak perlu dikatakan tentang kepala lingkungan Turyantapada, dan anak anak pandai besi Lulumbang yang bernama Mpu Gandring, seratus pandai besi di Lulumbang itu diberi hak istimewa di dalam lingkungan batas jejak bajak beliung cangkulnya. Adapun anak Kebo Hijo disamakan haknya dengan anak Mpu Gandring. Anak laki laki Dang Hyang Lohgawe, bernama Wangbang Sadang, lahir dari ibu pemeluk agama Wisnu, dikawinkan dengan anak Bapa Bango yang bernama Cucu Puranti, demikianlah inti keutamaan Sang Amurwabumi. Sangat berhasillah negara Singasari, sempurna tak ada halangan. Telah lama terdengar berita, bahwa Ken Angrok sudah menjadi raja, diberitahulah raja Dandhang Gendis, bahwa Ken Angrok bermaksud akan menyerang Daha. Kata Raja Dandhang Gendis: "Siapakah yang akan mengalahkan negara kami ini, barangkali baru kalah, kalau Batara Guru turun dari angkasa, mungkin baru kalah." Diberi tahulah Ken Angrok, bahwa raja Dandhang Gedis berkata demikian. Kata Sang Amurwabumi: "Wahai, para bujangga pemeluk Siwa dan Budha, restuilah kami mengambil nama nobatan Batara Guru." Demikianlah asal mulanya ia bernama nobatan Batara Guru, direstui oleh bujangga brahmana dan resi. Selanjutnya ia lalu pergi menyerang Daha. Raja Dandhang Gendis mendengar, bahwa Sang Amurwabumi di Tumapel datang menyerang Daha, Dandhang Gendis berkata: "Kami akan kalah, karena Ken Angrok sedang dilindungi Dewa." Sekarang tentara Tumapel bertempur melawan tentara Daha, berperang disebelah utara Ganter, bertemu sama sama berani, bunuh membunuh, terdesaklah tentara Daha. Adik Raja Dandhang Gendis gugur sebagai pahlawan, ia bernama Mahisa Walungan, bersama sama dengan menterinya yang perwira, bernama Gubar Baleman. Adapun sebabnya itu gugur, karena diserang bersama sama oleh tentara Tumapel, yang berperang laksana banjir dari gunung. Sekarang tentara Daha terpaksa lari, karena yang menjadi inti kekuatan perang telah kalah. Maka tentara Daha bubar seperti lebah, lari terbirit birit meninggalkan musuh seperti kambing, mencabut semua payung payungnya, tak ada yang mengadakan perlawanan lagi. Maka Raja Dandhang Gendis mundur dari pertempuran, mengungsi ke alam dewa, bergantung gantung di angkasa, beserta dengan kuda, pengiring kuda, pembawa payung, dan pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semuanya naik ke angkasa. Sungguh kalah Daha oleh Ken Angrok. Dan adik adik Sang Dandhang Gendis, yalah: Dewi Amisam, Dewi Hasin, dan Dewi Paja diberi tahu, bahwa raja Dandhang Gendis kalah berperang, dan terdengar, ia telah di alam dewa, bergantung gantung di angkasa, maka tuan dewi ketiga tiganya itu menghilang bersama sama dengan istananya juga. Sesudah Ken Angrok menang terhadap musuh, lalu pulang ke Tumapel, dikuasailah tanah Jawa olehnya, ia sebagai raja telah berhasil mengalahkan Daha pada tahun saka : 1144. Lama kelamaan ada berita, bahwa sang Anusapati, anak tunggal Tunggul Ametung bertanya tanya kepada pengasuhnya. "Hamba takut terhadap ayah tuan", demikian kata pengasuh itu: "Lebih baik tuan berbicara dengan ibu tuan". Karena tidak mendapat keterangan, Nusapati bertanya kepada ibunya: "Ibu, hamba bertanya kepada tuan, bagaimanakah jelasnya ini?" Kalau ayah melihat hamba, berbeda pandangannya dengan kalau ia melihat anak anak ibu muda, semakin berbeda pandangan ayah itu." Sungguh sudah datang saat Sang Amurwabumi. Jawab Ken Dedes: "Rupa rupanya telah ada rasa tidak percaya, nah, kalau buyung ingin tahu, ayahmu itu bernama Tunggul Ametung, pada waktu ia meninggal, saya telah mengandung tiga bulan, lalu saya diambil oleh Sang Amurwabumi.: Kata Nusapati: "Jadi terangnya, ibu, Sang Amurwabumi itu bukan ayah hamba, lalu bagaimana tentang meninggalnya ayah itu?" "Sang Amurwabumi buyung yang membunuhnya." Diamlah Ken Dedes, tampak merasa membuat kesalahan karena memberi tahu soal yang sebenarnya kepada anaknya. Kata Nusapati: "Ibu, ayah mempunyai keris buatan Gandring. itu hamba pinta, ibu." Diberikan oleh Ken Dedes. Sang Anusapati memohon diri pulang ke tempat tinggalnya. Adalah seorang hambanya berpangkat pengalasan di Batil, dipanggil oleh Nusapati, disuruh membunuh Ken Angrok, diberi keris buatan Gandring, agar supaya dipakainya untuk membunuh Sang Amurwabumi, orang di Batil itu disanggupi akan diberi upah oleh Nusapati. Berangkatlah orang Batil masuk kedalam istana, dijumpai Sang Amurwabumi sedang bersantap, ditusuk dengan segera oleh orang Batil. Waktu ia dicidera, yalah: Pada hari Kamis Pon, minggu Landhep, saat ia sedang makan, pada waktu senjakala, matahari telah terbenam, orang telah menyiapkan pelita pada tempatnya. Sesudah Sang Amurwabumi mati, maka larilah orang Batil, mencari perlindungan pada Sang Anusapati, kata orang Batil: "Sudah wafatlah ayah tuan oleh hamba." Segera orang Batil ditusuk oleh Nusapati. Kata orang Tumapel: "Ah, Batara diamuk oleh pengalasan di Batil, Sang Amurwabumi wafat pada tahun saka 1168, dicandikan di Kagenengan. |
Pararatón
|
= 04 =
II. Sesudah demikian, sang Anusapati mengganti menjadi raja, ia menjadi raja pada tahun Saka 1170.
Lama kelamaan diberitakan kepada Raden Tohjaya, anak Ken Angrok dari isteri muda, sehingga ia mendengar segala tindakan Anusapati, yang mengupahkan pembunuhan Sang Amurwabumi kepada orang Batil. Sang Apanji Tohjaya tidak senang tentang kematian ayahnya itu, meikir mikir mencari cara untuk membalas, agar supaya ia dapat membunuh Anusapati. Anusapati tahu, bahwasanya ia sedang direncana oleh Panji Tohjaya, berhati hatilah Sang Anusapati, tempat tidurnya dikelilingi kolam, dan pintunya selalu dijaga orang, sentosa dan teratur. Setelah lama kemudian Sang Apanji Tohjaya datang menghadap dengan membawa ayam jantan pada Batara Anuspati. Kata Apanji Tohjaya: "Kakak, ada keris ayah buatan Gandring, itu hamba pinta dari tuan." Sungguh sudah tiba saat Batara Anuspati. Diberikan keris buatan Gandring oleh Sang Anusapati, diterima oleh Apanji Tohjaya, disisipkan dipinggangnya, lalu kerisnya yang dipakai semula, diberikan kepada hambanya. Kata Apanji Tohjaya: "Baiklah, kakak mari kita menyiapkan ayam jantan untuk segera kita ajukan di gelanggang." Menjawablah Sang Adipati: "Baiklah, adik." Selanjutnya ia menyuruh kepada hamba pemelihara ayam mengambil ayam jantan, kata Anusapati: "Nah, adik mari mari kita sabung segera.", "Baiklah" kata Apanji Tohjaya. Mereka bersama sama memasang taji sendiri – sendiri, telah sebanding, Sang Anusapati asyik sekali. Sungguh telah datang saat berakhirnya, lupa diri, karena selalu asyik menyabung ayamnya, ditusuk keris oleh Apanji Tohjaya. Sang Anusapati wafat pada tahun Saka 1171, dicandikan di Kidal.
III. Apanji Tohjaya menjadi raja di Tumapel.
Sang Anusapati mempunyai seorang anak laki laki bernama Ranggawuni, hubungan keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan. Mahisa Wonga Teleng, saudara Apanji Tohjaya, sama ayah lain ibu, mempunyai anak laku laki, yalah: Mahisa Campaka, hubungan keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan juga. Pada waktu Apanji Tohjaya duduk diatas tahta, disaksikan oleh orang banyak, dihadap oleh menteri menteri, semua terutama Pranaraja, Ranggawuni beserta Kebo Campak juga menghadap. Kata Apanji Tohjaya: "Wahai, menteri menteri semua, terutama Pranaraja, lihatlah kemenakanku ini, luar biasa bagus dan tampan badannya. Bagaimana rupa musuhku diluar Tumapel ini, kalau dibandingkan dengan orang dua itu, bagaimanakah mereka, wahai Pranaraja." Pranaraja menjawab sambil menyembah: "Betul tuanku, seperti titah tuanku itu, bagus rupanya dan sama sama berani mereka berdua, hanya saja tuanku, mereka dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut tak urung akan menyebabkan mati akhirnya." Paduka batara itu lalu diam, sembah Pranaraja makin terasa, Apanji Tohjaya menjadi marah, lalu ia memanggil Lembu Ampal, diberi perintah untuk melenyapkan kedua bangsawan itu. Kata Apanji Tohjaya kepada Lembu Ampal: "Jika kamu tidak berhasil melenyapkan dua orang kesatriya itu, kamulah yang akan kulenyapkan." Pada waktu Apanji Tohjaya, memberi perintah kepada Lembu Ampal melenyapkan dua bangsawan itu, ada seorang brahmana yang sedang melakukan upacara agama sebagai pendeta istana untuk Apanji Tohjaya. Dang Hyang itu mendengar, bahwa kedua bangsawan itu disuruh melenyapkan. Sang Brahmana menaruh belas kasihan kepada dua bangsawan, lalu memberi tahu: "Lembu Ampal diberi perintah untuk melenyapkan tuan berdua, kalau tuan kalian dapat lepas dari Lembu Ampal ini, maka Lembu Ampallah yang akan dilenyapkan oleh Seri Maharaja." Kedua bangsawan itu berkata: "Wahai Dang Hyang, bukanlah kami tidak berdosa." Sang Brahmana menjawab: "Lebih baik tuan bersembunyi dahulu." Karena masih dibimbangkan, kalau kalau brahmana itu bohong, maka kedua bangsawan itu pergi ke Apanji Patipati. Kata bangsawan itu: "Panji Patipati, kami bersembunyi di dalam rumahmu, kami mengira, bahwa kami akan dilenyapkan oleh Batara, kalau memang akan terjadi kami dilenyapkan itu, kami tidak ada dosa." Setelah itu maka Apanji Patipati mencoba mendengar dengarkan: "Tuan, memang betul, tuan akan dilenyapkan, Lembu Ampal lah yang mendapat tugas." Keduanya makin baik cara bersembunyi, dicari, kedua duanya tak dapat diketemukan. Didengar dengarkan, kemana gerangan mereka pergi, tak juga dapat terdengar. Maka Lembu Ampal didakwa bersekutu dengan kedua bangsawan itu oleh Batara. Sekarang Lembu Ampal ditindak untuk dilenyapkan, larilah ia, bersembunyi di dalam rumah tetangga Apanji Patipati. Lembu Ampal mendengar, bahwa kedua bangsawan berada di tempat tinggal Apanji Pati Pati. Lembu Ampal pergi menghadap kedua bangsawan, kata Lembu Ampal kepada kedua bangsawan itu: "Hamba berlindung kepada tuan hamba, dosa hamba: disuruh melenyapkan tuan oleh Batara. Sekarang hamba minta disumpah, kalau tuan tidak percaya, agar supaya hamba dapat menghamba paduka tuan dengan tenteram." Setelah disumpah dua hari kemudian Lembu Ampal menghadap kepada kedua bangsawan itu: "Bagaimanakah akhirnya tuan, tak ada habis habisnya terus menerus bersembunyi ini, sebaiknya hamba akan menusuk orang Rajasa, nanti kalau mereka sedang pergi kesungai." Pada waktu sore Lembu Ampal menusuk orang Rajasa, ketika orang berteriak, ia lari kepada orang Sinelir. Kata orang Rajasa: "Orang Sinelir menusuk orang Rajasa. Kata orang Sinelir: "Orang Rajasa menusuk orang Sinelir." Akhirnya orang orang Rajasa dan orang orang Sinelir itu berkelahi, bunuh membunuh sangat ramainya, dipisah orang dari istana, tidak mau memperhatikan. Apanji Tohjaya marah, dari kedua golongan ada yang dihukum mati. Lembu Ampal mendengar, bahwa dari kedua belah pihak ada yang dilenyapkan, maka Lembu Ampal pergi ke Orang Rajasa. Kata Lembu Ampal: "Kalau kamu ada yang akan dilenyapkan hendaknyalah kamu mengungsi kepada kedua bangsawan, karena kedua bangsawan itu masih ada." Orang orang Rajasa menyatakan kesanggupannya: "Nah, bawalah kami hamba hamba ini menghadapnya, wahai Lembu Ampal." Maka ketua orang Rajasa dibawa menghadap kepada kedua bangsawan. Kata orang Rajasa itu: "Tuanku, hendaknyalah tuan lindungi hamba hamba Rajasa ini, apa saja yang menjadi tuan titah, hendaknyalah hamba tuan sumpah, kalau kalau tidak sungguh sungguh kami menghamba ini, kalau tidak jujur penghambaan kami ini." Demikian pula orang Sinelir, dipanggilah ketuanya, sama kesanggupannya dengan orang Rajasa, selanjutnya kedua belah pihak telah didamaikan dan telah disumpah semua, lalu dipesan: "Nanti sore hendaknya kamu datang kemari, dan bawalah temanmu masing masing, hendaknyalah kamu memberontak meluka lukai di dalam istana." Orang Sinelir dan orang Rajasa bersama sama memohon diri. Setelah sore hari orang orang dari kedua belah pihak datang membawa teman temannya, bersama sama menghadap kepada kedua bangsawan, mereka keduanya saling mengucap selamat datang, lalu berangkat menyerbu kedalam istana. Apanji Tohjaya sangat terperanjat, lari terpisah, sekali gus kena tombak. Sesudah huru hara berhenti, ia dicari oleh hamba hambanya, diusung dan dibawa lari ke Katanglumbang. Orang yang mengusung lepas cawatnya, tampak belakangnya. Kata Apanji Tohjaya kepada orang yang memikul itu: "Perbaikilah cawatmu, karena tampak belakangmu." Adapun sebabnya ia tidak lama menjadi raja itu, karena pantat itu. Setelah datang di Lumbangkatang, wafatlah ia, lalu dicandikan
IV. Kemudian Ranggawuni menjadi raja, ia dengan Mahisa Campaka dapat diumpamakan seperti dua ular naga didalam satu liang.
Ranggawuni bernama nobatan Wisnuwardana, demikanlah namanya sebagai raja, Mahisa Campaka menjadi Ratu Angabhaya, bernama nobatan Batara Narasinga. Sangat rukunlah mereka, tak pernah berpisah. Batara Wisnuwardana mendirikan benteng di Canggu sebelah utara pada tahun Saka 1193. Ia berangkat menyerang Mahibit, untuk melenyapkan Sang Lingganing Pati. Adapun sebabnya Mahibit kalah, karena kemasukkan orang yang bernama Mahisa Bungalan. Sri Ranggawuni menjadi raja lamanya 14 tahun, ia wafat pada tahun 1194, dicandikan di Jajagu. Mahisa Campaka wafat, dicandikan di Kumeper, sebagian abunya dicandikan di Wudi Kuncir. V. Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki laki, bernama Sri Kertanegara, Mahisa Campaka meninggalkan seorang anak laki laki juga, bernama Raden Wijaya. Kertanegara menjadi Raja, bernama nobatan Batara Siwabuda. Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa rupanya tidak dipercaya, dijatuhkan, disuruh menjadi Adipati di Sungeneb, bertempat tinggal di Madura sebelah timur. Ada Patihnya, pada waktu ia baru saja naik keatas tahta kerajaan, bernama Mpu Raganata, ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara, karenanya itu Mpu Raganata lalu meletakkan jabatan tak lagi menjadi Patih, diganti oleh Kebo Tengah Sang Apanji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi Adiyaksa di Tumapel. Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu. Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, sedatangnya di Tumapel Sang Apanji Aragani mempersembahkan makanan tiap tiap hari, raja Kertanegara bersenang senang. Banyak Wide berumur 40 tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu, ia berteman dengan raja Jaya Katong, Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura, mengadakan hubungan dan berkirim utusan. Demikian juga raja Jaya Katong berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jaya Katong, bunyi surat: "Tuanku, patik baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud akan berburu di tanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu, ketepatan dan kesempatan adalah baik sekali, tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya, ada harimau, tetapi tak bergigi." Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tak bergigi, karena sudah tua. Sekarang raja Jaya Katong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang orang yang tidak baik, bendera dan bunyi bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling. Batara Siwa Buda senantiasa minum minuman keras, diberi tahu bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan kata: "Bagaimana dapat raja Jaya Katong demikian terhadap kami, bukanlah ia telah baik dengan kami." Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Pedang Sora, Dangdi Gajah Pangon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua prajurit baik, melawan tentara Daha di bagian utara itu, dikejar diburu oleh Raden Wijaya. Kemudian turunlah tentara besar besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Aksa, menuju ke Lawor, mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, yalah: Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot dan Bowong. Ketika Batara Siwa Buda sedang minum minuman keras bersama sama dengan patih, maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur, Kebo Tengah yang melakukan pembalasan, meninggal di Manguntur. |
Pararatón
|
= 05 =
VI. Raden Wijaya yang diceritakan ke utara tersebut diberi tahu, bahwa Batara Siwa Buda wafat, karena tentara Daha turun dari selatan, patih tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara.
Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba hambanya, berlari lari ke Tumapel, melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar, diburu oleh Kebo Mundarang, Raden Wijaya naik keatas, mengungsi di Sawah Miring, maksud Kebo Mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah bekas di tenggala, dada Kebo Mundarang sampai mulanya penuh lumpur, ia mundur sambil berkata: "Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini." Sekarang Raden Wijaya membagi bagi cawat kain ikat berwarna merah, diberikan kepada hamba hambanya, masing masing orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk mengamuk. Yang mendapat bagian, yalah: Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi dan Gajah Sora, segera menyerang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: "Sekarang ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya." Raden Wijaya lekas lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang orang orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri, repotlah orang prang Daha itu larinya. Batara Siwa Buda mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan dengan Raden Wijaya, demikianlah maksud Batara Siwa Buda itu, kedua duanya ditawan oleh orang Daha, puteri yang muda berpisah dengan puteri yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan kerepotan orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu. Pada waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan oleh Raden Wijaya, yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas lekaslah diambil oleh Raden Wijaya, lalu berkata: "Nah, Sora, marilah mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu dengan puteri muda." Sora berkata: "Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini." Jawab Raden Wijaya: "Justru karena itu." Maka Sora berkata lagi: "Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa mengamuk, seandainya berhasil itu baik, kalau adik tuanku yang muda dapat ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti anai anai menyentuh pelita." Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam malaman mereka berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha, terkejar disebelah selatan Talaga Pager. Orang orangnya ganti berganti tinggal dibelakang, untuk berperang, menghentikan orang Daha. Gajah Pagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan. Kata Raden Wijaya: "Gajah Pagon, masih dapatkah kamu berjalan, kalau tidak dapat, mari kita bersama sama mengamuk." "masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja hendaknya perlahan lahan." Orang orang Daha tidak begitu giat mengejarnya, kemudian mereka kembali di Talaga Pager. Raden Wijaya masuk belukar, keluar belukar seperti ayam hutan, dan hamba hambanya yang mengiring semua, ganti berganti mendukung puteri bangsawan. Akhirnya hamba hambanya bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya. Setelah putus pembicaraannya, semuanya bersama sama berkata: "Tuanku, sembah hamba hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku yang masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam hutan itu, pendapat hamba semua, lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur, hendaknyalah tuanku mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan, mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya." Kata Raden: "Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat malu." Jawab Sora, Rangga Lawe dan Nambi serentak dengan suara bersama: "Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku." Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata kata hambanya. Mereka keluar dari dalam hutan, datang di Pandakan, menuju ke orang tertua di Pandakan, bernama Macankuping. Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, diminum airnya, ketika dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu. Kata orang: "Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi nasi." Gajah Pagon tak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya: "Orang tua di Pandakan, saya menitipkan satu orang, Gajah Pagon ini tidak dapat berjalan, hendaknyalah ia tinggal di tempatmu." Kata orang Pandakan: " Aduh, tuanku. itu akan tidak baik kalau sampai terjadi Gajah Pagon didapati disini, mustahil akan ada hamba yang menyetujui di Pandakan, kehendak hamba, biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di tengah tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tad ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan memberi makan tiap tiap hari." Gajah Pagon lalu ditinggalkan, Raden Wijaya selanjutnya menuju ke Datar, pada waktu malam hari. Sesampainya di Datar, lalu naik perahu. Tentara Daha lalu kembali pulang. Puteri yang muda masih terus ditawan, dibawa ke Daha, dipersembahkan kepada raja Jaya Katong. Ia senang diberi tahu tentang Batara Siwa Buda wafat. Raden Wijaya menyeberang ke Utara, turun di daerah perbatasan Sungeneb, bermalam di tengah tengah sawah yang baru saja habis disikat, pematangnya tipis. Sora lalu berbaring meniarap, Raden Wijaya dan puteri bangsawan itu duduk diatasnya. Pagi harinya melanjutkan perjalanannya ke Sungeneb, beristirahat di dalam sebuah balai panjang. hamba hamba disuruh melihat lihat, kalau kalau Wiraraja sedang duduk dihadap hamba hambanya. Kembalilah mereka yang disuruh itu, memang Wiraraja sedang dihadap. Berangkatlah raden Wijaya menuju tempat Wiraraja dihadap, terperanjatlah Wiraraja melihat Raden itu, Wiraraja turun, lalu masuk kedalam rumah, bubarlah yang menghadap. Terhenti hati Raden Wijaya, berkata kepada Sora dan Ranggalawe: "nah, apakah kataku, saya sangat malu, lebih baik aku mati pada waktu aku mengamuk dahulu itu." Maka ia kembali ke balai panjang, kemudian Wiraraja datang menghadap, berbondong bondong dengan seisi rumah, terutama isterinya, bersama sama membawa sirih dan pinang. Kata Ranggalawe: "Nah, tuanku, bukankah itu Wiraraja yang datang menghadap kemari." Maka senanglah hati Raden Wijaya. Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya. Wiraraja itu meminta, agar Raden Wijaya masuk di perumahan Adipati. Sang puteri bangsawan naik kereta, isteri Wiraraja semua berjalan kaki, mengiring puteri bangsawan itu, dan Wiraraja mengiring Raden Wijaya. Setelah datang di rumah tempat Wiraraja tidur. Raden Wijaya dihadap didalam balai nomor dua sebelah luar, ia menceriterakan riwayat bagaimana sang batara yang gugur ditengah tengah minum minuman keras itu meninggal dunia, juga menceriterakan bagaimana ia mengamuk orang Daha. Berkatalah Wiraraja: "Sekarang ini, apakah yang menjadi kehendak tuan." Raden Wijaya menjawab: "Saya minta persekutuanmu, jika sekiranya ada belas kasihanmu." Sembah Wiraraja: "Janganlah tuanku khawatir, hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan lahan." Selanjutnya Wiraraja mempersembahkan kain, sabuk dan kain bawah, semuanya dibawa oleh isteri isterinya, terutama isteri pertamanya. Kata Raden: "Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku, akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti, hendaknyalah kamu menikmati seperduanya, saya seperdua." Kata Wiraraja: "bagaimana saja, tuanku, asal tuanku dapat menjadi raja saja." Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja. Luar biasa pelayanan Wiraraja terhadap Raden Wijaya, tiap tiap hari mempersembahkan makanan, tak usah dikatakan tentang ia mempersembahkan minuman keras. Lamalah Raden Wijaya bertempat tinggal di Sungeneb. Disitu Arya Wiraraja berkata: "Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknya tuanku pergi menghamba kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan seakan akan minta maaf dengan kata kata yang mengandung arti tunduk, kalau sekiranya raja Jaya Katong tak berkeberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas lekas pindah bertempat tinggal di Daha, kalau rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah tuan memohon hutan orang Terik kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan membuat desa disitu, hamba hamba Maduralah yang akan menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba hamba Madura yang menghadap tuanku dekat. Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat lihat orang orang raja Jaya Katong, siapa yang setia, yang berani, yang penakut, yang pandai, terutama juga hendaknyalah tuan ketahui sifat sifat Kebo Mundarang, sesudah itu semua dapat diukur, hendaknyalah tuanku memohon diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah dirubah menjadi desa oleh hamba hamba Madura itu, masih ada perlunya lagi, yalah: "Jika ada hamba hamba tuanku yang berasal dari Tumapel ingin kembali menghamba lagi kepada tuan, hendaknyalah tuan terima, meskipun hamba hamba dari Daha juga, jika mereka ingin mencari perlindungan kepada tuan, hendaknyalah tuan lindungi, jika semua itu sudah, maka tentara Daha tentu terkuasai oleh tuanku. Sekarang hamba akan berkirim Berangkatlah orang yang disuruh mengantarkan Adapun bunyi Kata Raja Jaya Katong: "Mengapa kami tidak senang, kalau buyung Arsa Wijaya akan menghamba kepada kami." Selanjutnya disuruh kembalilah utusan itu untuk menyampaikan kata katanya. Setelah utusan datang lalu menyampaikan perintah. Wiraraja senang. Segera Raden Wijaya kembali ke Pulau Jawa, diiring oleh hamba hambanya, dihantarkan oleh orang orang Madura, dan Wiraraja juga menghantarkan kembali di Terung. Setelah datang Ketika ia datang di Daha, kebetulan tepat pada hari raya Galungan, hamba hambanya disuruh oleh raja untuk mengambil bagian didalam pertandingan, menteri menteri Daha sangat heran, karena orang orang itu baik semua, terutama Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang dan Dangdi, mereka bersama sama lari ketempat pertandingan di Manguntur negara Daha. Bergantilah menteri menteri Daha lari, diantaranya yang merupakan perjurit utama, yalah: Panglet, Mahisa Rubuh dan Patih Kebo Mundarang, mereka ketiga tiganya kalah cepat larinya dengan Rangga Lawe dan Sora. Lama kelamaan Raja Jaya Katong mengadakan pertandingan tusuk menusuk, "Puteraku Arsa Wijaya, hendaknyalah kamu ikut bermain tusuk menusuk, kami ingin melihat, menteri menteri kamilah yang akan menjadi lawanmu." Jawab Raden Wijaya: "Baiklah tuanku." Bertandinglah mereka tusuk menusuk itu, riuh rendah suara bunyi bunyian, orang yang melihat penuh tak ada selatnya, orang orang raja Jaya Katong sering kali terpaksa lari. Kata raja Jaya Katong: "Pintalah buyung Arsa Wijaya, jangan ikut serta, siapakah yang berani melawan tuannya." Raden Wijaya berhenti, kini sepadanlah pertandingan tusuk menusuk itu, kejar mengejar, kemudian Sora menuju ke arah Kebo Mundarang, Rangga Lawe menuju Panglet dan Nambi menuju ke Mahisa Rubuh, akhirnya terpaksa lari menteri menteri Daha itu menghadapi orang orang Raden Wijaya, tak ada yang mengadakan pembalasan, lalu bubar. Sekarang Raden Wijaya telah melihat, bahwa menteri menteri Daha dikalahkan oleh orang orangnya. Lalu ia berkirim Raja Jaya Katong memperkenankan. Inilah asal usul orang mendirikan desa di hutan orang Terik. Ketika desa sedang dibuat oleh orang orang Madura, ada orang yang lapar karena kurang bekalnya pada waktu ia menebang hutan, ia makan buah maja, merasa pahit, semua dibuanglah buah maja yang diambilnya itu, terkenal ada buah maja pahit rasanya, tempat itu lalu diberi nama Majapahit. Raden Wijaya telah dapat memperhitungkan keadaan Daha. Majapahit telah berupa desa. Orang orang Wiraraja yang mengadakan hubungan dengan Daha, beristirahat di Majapahit. Wiraraja berkirim pesan kepada Raden Wijaya, bagaimana caranya memohon diri kepada raja Jaya Katong. Sekarang Raden Wijaya meminta ijin pindah ke Majapahit. Raja Jaya Katong memperkenankannya, lengah karena rasa sayang dan karena kepandaian Raden Wijaya menghamba itu, seperti sungguh sungguh. Setelah Raden Wijaya pindah ke Majapahit, lalu memberi tahu kepada Wiraraja, bahwa menteri menteri Daha telah dapat dikuasai olehnya dan oleh hamba hambanya semua. Raden Wijaya mengajak Wiraraja menyerang Daha, Wiraraja menahan, berkata kepada utusannya: "Jangan tergesa gesa, masih ada muslihat saya lagi, hendaknyalah kamu wahai utusan, bersembah kepada tuanmu, saya ini berteman dengan raja Tatar, itu akan kutawari puteri bangsawan, hendaknyalah kamu utusan, pulang ke Majapahit sekarang. Sepergimu saya akan berkirim Jika raja Daha telah kalah, maka seluruh pulau Jawa tak ada yang menyamai, itu nanti dapat dimiliki oleh raja Tatar, demikian itu penipuanku terhadap raja Tatar. Hendaknyalah kamu memberi tahu kepada Sang Pangeran, bahwasanya ini agar supaya raja itu mau ikut serta mengalahkan Daha." Utusan pulang kembali ke Majapahit, Raden Wijaya senang diberi tahu semua pesan Wiraraja itu. Sesudah utusan kembali, Wiraraja lalu berkirim utusan ke Tatar. Wiraraja pindah ke Majapahit, seisi rumah dan membawa tentara dari Madura, yalah semua orang Madura yang baik dibawa beserta senjatanya. Setelah utusan datang dari Tatar, lalu menyerang Daha. Tentara Tatar keluar dari sebelah utara, tentara Madura dan Majapahit keluar dari timur, Raja Katong bingung, tak tahu mana yang harus dijaga. Kemudian diserang dengan hebat dari utara oleh tentara Tatar. Kebo Mundarang, Panglet dan Mahisa Rubuh menjaga tentara dari timur. Panglet mati oleh Sora, Kebo rubuh mati oleh Nambi, Kebo Mundarang bertemu dengan Rangga Lawe, terpaksa larilah Kebo Mundarang, dapat dikejar di lembah Trinipati, akhirnya mati oleh Rangga Lawe, Kebo Mundarang berpesan kepada Rangga Lawe: "Wahai Rangga Lawe, saya mempunyai seorang anak perempuan, hendaknyalah itu diambil oleh Ki Sora sebagai anugerah atas keberaniannya." Raja Jaya Katong yang bertempur ke Utara, bersenjatakan perisai, diserang bersama sama oleh orang orang Tatar, akhirnya tertangkap dan dipenjara oleh orang Tatar. Raden Wijaya lekas lekas masuk kedalam istana Daha, untuk melarikan puteri bangsawan yang muda, lalu dibawa ke Majapahit, sedatangnya di Majapahit orang orang Tatar datang untuk meminta puteri puteri bangsawan, karena Wiraraja telah menyanggupkan itu, jika Daha telah kalah, akan memberikan dua orang puteri bangsawan yang berasal dari Tumapel, kedua duanya semua. Maka bingunglah para menteri semua, mencari cari kesanggupan lain, Sora berkata: "Nah, saya saja yang akan mengamuk bilamana orang orang Tatar datang kemari." Arya Wiraraja menjawab: "Sesungguhnya, wahai buyung Sora, masih ada muslihatku lagi." Maka dicari dicarilah kesanggupan kesanggupan. Itulah yang dimusyawarahkan oleh menteri menteri. Sora menyatakan kesanggupannya: " Tak seberapa kalau saya mengamuk orang orang Tatar." Pada waktu sore hari, waktu matahari sudah condong ke barat, orang orang Tatar datang meminta puteri puteri bangsawan. Wiraraja menjawab: "Wahai, orang orang Tatar semua, janganlah kamu kalian tergesa gesa, puteri puteri raja itu sedang sedih, karena telah cemas melihat tentara tentara pada waktu Tumapel kalah, lebih lebih ketika Daha kalah, sangat takut melihat segala yang serba tajam. Besok pagi saja mereka akan diserahkan kepada kamu, ditempatkan kedalam kotak, diusung, dihias dengan kain kain, dihantarkan ke perahumu, sebabnya mereka ditempatkan didalam peti itu, karena mereka segan melihat barang barang yang tajam, dan yang menerimanya puteri puteri bangsawan itu, hendaknyalah jangan orang Tatar yang jelek, tetapi orang orang yang bagus jangan membawa teman, karena janji puteri puteri bangsawan itu, kalau sampai terjadi melihat yang serba tajam, meskipun sudah tiba diatas perahu, mereka akan terjun kedalam air, bukankah akan sia sia saja, bahwasanya kalian telah mempertaruhkan jiwa itu, jika puteri puteri bangsawan ini sampai terjadi terjun kedalam air." Percayalah orang orang Tatar, ditipu itu. Kata seorang Tatar: "Sangat betul perkataan tuan." Sesudah datang saat perjanjian menyerahkan puteri puteri bangsawan itu, orang orang Tatar datang berbondong bondong meminta puteri puteri bangsawan, semua tak ada yang membawa senjata tajam. Setelah mereka masuk kedalam pintu Bayangkara, orang orang Tatar itu ditutupi pintu, dikunci dari luar dan dari dalam, Sora telah menyisipkan keris pada pahanya. Sekonyong konyong orang orang Tatar diamuk oleh Sora, habis, mati semua. Ranggalawe mengamuk kepada mereka yang berada di luar balai tempat orang menghadap, dikejar sampai ketempat kemana saja mereka lari, kemuara Canggu, diikuti dan dibunuh. Kira kira sepuluh hari kemudian, mereka yang pergi berperang, datang dari Malayu, mendapat dua orang puteri, yang seorang dikawin oleh Raden Wijaya, yalah yang bernama Raden Dara Pethak, adapun yang tua bernama Dara Jingga, kawin dengan seorang Dewa, melahirkan seorang anak laki laki menjadi raja di Malayu, bernama Tuhan Janaka, nama nobatannya: Sri Warmadewa alias Raja Mantrolot. Peristiwa Malayu dan Tumapel itu bersamaan waktunya pada tahun Saka: Pendeta Sembilan Bersamadi atau 1197. Raja Katong naik diatas tahta kerajaan di Daha pada tahun Saka: Ular Muka Dara Tunggal atau 1198. Setelah Raka Katong datang di Junggaluh ia mengarang kidung: Wukir Polaman, selesai mengarang kidung ia wafat. |
Pararatón
|
= 06 =
VII. Sekarang Raden Wijaya menjadi raja pada tahun Saka: Rasa Rupa Dua Bulan atau 1216. Kemudian ia mempunyai seorang anak laki laki dari Dara Pethak, nama kesatriyannya: Raden Kalagemet. Adapun dua orang anak perempuan Batara Siwa Buda, yang dibayang bayangkan kepada orang Tatar, keduanya itu juga dikawin oleh Raden Wijaya, yang tua menjadi ratu di Kahuripan, yang muda menjadi ratu di Daha.
Nama nobatan Raden Wijaya pada waktu menjadi raja: Sri Kertarajasa. Didalam tahun pemerintahannya ia mendapat penyakit bisul berbengkak. Ia wafat di Antapura, wafat pada tahun 1257.
VIII. Raden Kalagemet menggantikannya menjadi raja, nama nobatannya: Batara Jayanagara. Sri Siwa Buda dicandikan di Tumapel, nama resmi candi: Purwa Patapan. Berdiri candi itu berselat 17 tahun dengan peristiwa Ranggalawe.
Ranggalawe akan dijadikan patih, tetapi urung, itulah sebabnya maka ia mengadakan pemberontakan di Tuban, dan mengadakan perserikatan dengan kawan kawannya. Telah terjadi orang orang Tuban di gunung sebelah utara dimasukkan didalam perserikatannya , mereka itu semua menaruh perhatian kepada Ranggalawe. Nama orang orang yang menyetujuinya, yalah: Panji Marajaya, Ra Jaran Waha, Ra Arya Sidi, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, Ra Tati, mereka itu teman teman Ranggalawe pada waktu berontak. Adapun sebabnya ia pergi dari Majapahit itu, merebut kedudukan, Mahapati menjalankan fitnah dengan bahan kata kata Ranggalawe: "Jangan banyak bicara, didalam kitab Partayadnya ada tempat untuk penakut penakut." Setelah terdengar, bahwa Ranggalawe berontak, Mahapatih-lah yang memberi memberi tahu hal itu, maka raja Jayanagara marah, semua teman teman Ranggalawe didalam pemberontakan itu mati, hanya Ra Gelatik yang masih hidup, karena ia disuruh berbalik hati. Peristiwa Ranggalawe itu pada tahun saka: Kuda Bumi Sayap Orang, atau 1217. Wiraraja memohon diri untuk bertempat tinggal di Lamajang, yang luasnya tiga daerah juru, karena Raden Wijaya telah berjanji akan membagi dua Pulau Jawa, dan akan menganugerahkan daerah lembah Lumajang sebelah selatan dan utara beserta daerah tiga juru. Telah lama itu dinikmati oleh Wiraraja, Nambi masih menjadi patih, Sora menjadi Demung dan Tipar menjadi Tumenggung. Tumenggung pada waktu itu lebih rendah dari pada Demung. Wiraraja tidak kembali ke Majapahit, ia tidak mau menghamba. Setelah berselat tiga tahun dari peristiwa Ranggalawe maka terjadilah peristiwa Sora. Sora difitnah oleh Mahapati, dan Sora ini dapat dilenyapkan, dibunuh oleh Kebo Mundarang, pada tahun saka: Baba Tangan Orang atau 1222. Juga Nambi difitnah oleh Mahapati, jasa jasa perangnya tidak diperhatikan, pada waktu ia melihat saat yang tepat dan baik, ia memohon diri untuk meninjau Wiraraja yang menderita sakit. Sri Jayanagara memberi ijin, hanya saja tidak diperkenankan pergi lama lama. Nambi tak datang kembali, menetap di Lembah, mendirikan benteng, menyiapkan tentara. Wiraraja meninggal dunia. Sri Jayanagara menjadi raja, lamanya dua tahun. Selanjutnya terjadi peristiwa Juru Demung, berselat dua tahun dengan peristiwa Sora. Juru Demung mati pada tahun saka: Keinginan Sifat Sayap Orang, atau: 1235. Lalu terjadi peristiwa Gajah Biru pada tahun saka: Rasa Sifat Sayap Orang atau: 1236. Selanjutnya terjadi peristiwa Mandana, Jayanagara berangkat sendiri untuk melenyapkan orang orang Mandana. Sesudah itu ia pergi ke timur untuk melenyapkan Nambi. Nambi diberi tahu, bahwa Juru Demung sudah mati, demikian pula patih pengasuh, Tumenggung Jaran Lejong, menteri menteri pemberani semua sudah mati, gugur di medan perang. Nambi berkata: "Kakak Samara, Ki Derpana, Ki Teguh, Paman Jaran Bangkal, Ki Wirot, Ra Windan, Ra Jangkung, jika dibanding banding, orang orang disebelah timur ini, tak akan kalah, apalagi setelah mereka sudah rusak itu, siapa lagi yang menjadi teras orang orang sebelah barat, apakah Jabung Terewes, Lembu Peteng atau Ikal Ikalan Bang, saja tak akan gentar, biar selaksa semacam itu didepan dan dibelakang, akan kuhadapi pula seperti perang di Bubat." Setelah orang orang Majapahit datang, dan Nambi pergi ke selatan, maka Ganding rusak, piyagamnya dapat dirampas, Nambi dikejar kejar dan didesak, Derpana, Samara, Wirot Made, Windan, Jangkung mulai bertindak, terutama Nambi, ia mengadakan serangan pertama tama. seakan akan tercabutlah orang orang Majapahit, tak ada yang mengadakan perlawanan. Jabung Terewes, Lembu Peteng dan Ikal Ikalan Bang lalu bersama sama menyerang Nambi, Nambi gugur, demikian pula teman teman Nambi yang menyerang tadi gugur semua, patahlah perlawanan di Rabut Buhayabang, orang orang disebelah timur itu mencabut payung kebesarannya, daerah Lumajang kalah pada tahun saka: Ular Menggigit Bulan, atau: 1238. Peristiwa Wagal dan Mandana itu bersamaan waktunya. Berselat dua tahun Peristiwa Wagal dengan peristiwa Lasem. Semi dibunuh, ia mati dibawah pohon kapuk, pada tahun saka: Bukan Kitab Suci Sayap Orang, atau: 1240. Sesudah itu terjadi peristiwa Ra Kuti. Ada dua golongan Darmaputra Raja, mereka ini dahulunya adalah pejabat pejabat yang diberi anugerah raja, banyaknya tujuh orang, bernama: Kuti, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca dan Ra Banyak. Ra Kuti dan Ra Semi dibunuh, karena difitnah oleh Mahapati, akhirnya Mahapati diketahui melakukan fitnahan, ia ditangkap, dan dibunuh seperti seekor babi hutan, dosanya akan pergi sendiri ke Bedander. Ia pergi pada waktu malam, tak ada orang tahu, hanya orang orang Bayangkara mengiringkannya, semua yang kebetulan mendapat giliran menjaga pada waktu raja pergi itu, banyaknya 15 orang, pada waktu itu Gajah Mada menjadi Kepala Bayangkara dan kebetulan juga sedang menerima giliran menjaga, itulah sebabnya ia mengiring raja pada waktu raja pergi dengan menyamar itu. Lamalah raja tinggal di Bedander. Adalah seorang pejabat, ia memohon ijin akan pulang kerumahnya, tidak diperbolehkan oleh Gajah Mada, karena jumlah orang yang mengiring raja hanya sedikit, ia memaksa akan pulang, lalu ditusuk oleh Gajah Mada, maksud ia menusuk itu, yalah: "jangan jangan ia nanti memberi tahu, bahwa raja bertempat tinggal dirumah kepala desa Bedander, sehingga Ra Kuti, sehingga Ra Kuti dapat mengetahuinya. Kira kira Sedatangnya di Majapahit, Gajah Mada ditanyai oleh para Amanca Negara tentang tempat raja, ia mengatakan, bahwa raja telah diambil oleh teman teman Kuti. Orang orang yang diberi tahu semuanya menangis, Gajah Mada berkata: "Janganlah menangis, apakah tuan tuan tidak ingin menghamba kepada Ra Kuti." Menjawablah yang diajak berbicara itu: "Apakah kata tuan itu, Ra Kuti bukan tuan kami." Akhirnya Gajah Mada memberi tahu bahwa raja berada di Bedander, Gajah Mada lalu mengadakan persetujuan dengan para menteri, mereka semua sanggup membunuh Ra Kuti, dan Ra Kuti mati dibunuh. Raja pulang dari Bedander, kepala desa ditinggalkan, selanjutnya ia menjadi orang yang terkenal pada waktu itu. Sesudah raja pulang, maka Gajah Mada tak lagi menjadi Kepala orang orang Bayangkara, dua bulan lamanya ia mendapat cuti dibebaskan dari kewajiban, ia dipindah menjadi Patih di Kahuripan, dua tahun lamanya menjadi patih itu. Sang Arya Tilam, patih di Daha meninggal dunia, Gajah Mada menggantinya, ditempatkan menjadi patih di Daha, patih Mangkubumi Sang Arya Tadah menyetujui, ialah yang menyokong Gajah Mada menjadi patih di Daha itu. Raja Jayanagara mempunyai dua orang saudara perempuan, lain ibu, mereka tak diperbolehkan kawin dengan orang lain, akan diambil sendiri. Pada waktu itu tak ada kesatriya di Majapahit, tiap tiap kesatriya yang tampak lalu dilenyapkan, jangan jangan ada yang mengingini adiknya itu, itulah sebabnya maka kesatriya kesatriya bersembunyi tidak keluar. Isteri Tanca menyiarkan berita, bahwa ia diperlakukan tidak baik oleh raja. Tanca dituntut oleh Gajah Mada. Kebetulan raja Jayanegara menderita sakit bengkak, tak dapat pergi keluar, Tanca mendapat perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji, ia menghadap didekat tempat tidur. Raja ditusuk oleh Tanca dengan taji sekali dua kali, tidak makan tajinya, lalu raja diminta agar supaya meletakkan jimatnya, ia meletakkan jimatnya didekat tempat tidur, ditusuk oleh Tanca, tajinya makan, diteruskan ditusuk oleh Tanca, sehingga mati ditempat tidur itu. Tanca segera dibunuh oleh Gajah Mada, matilah Tanca. Berselat sembilan tahunlah peristiwa Kuti dan peristiwa Tanca itu, pada tahun saka: Abu Unsur memukul Raja atau: 1250. Raja dicandikan di Kapopongan, nama resmi candi itu: Srenggapura, arcanya di Antawulan. Pada waktu itu para kesatriya menginjakkan kaki di Majapahit lagi. Raden Cakradara dipilih pada sayembara menjadi suami seri ratu di Kahuripan. Raden Kuda Merta kawin dengan seri ratu di Daha. Raden Kuda Merta menjadi raja di Wengker, Sri Paduka Prameswara di Pamotan, nama nobatannya: Sri Wijayarajasa. Adalah anak Raden Cakradara, menjadi raja di Tumapel, nama nobatannya Sri Kertawardana. |
Pararatón
|
= 07 =
IX. Sri Ratu di kahuripan menjadi raja pada tahun saka: Sunyi Keinginan Sayap Bumi, atau: 1250.
Seri Ratu di Kahuripan itu mempunyai tiga orang anak, yalah: Batara Prabu, panggilannya Seri Hayam Wuruk, Raden tetep, sebutannya jika ia bermain kedok: Dalang Tritaraju, jika ia bermain wayang dan melawak: Gagak Ketawang, di kalangan pemeluk agama Siwa: Mpu Janeswara, nama nobatannya Seri Rajasa Nagara, sebagai Prabu: Seri Baginda Sang Hyang Wekasing Suka. Adiknya perempuan kawin dengan raden Larang, yang juga disebut Baginda di Matahun, tidak mempunyai anak, adiknya yang bungsu, yalah: Seri ratu di Pajang, kawin dengan Raden Sumana, yang juga disebut Baginda di Paguhan, ini adalah saudara sepupu Seri Ratu di Kahuripan. Isteri Baginda di Gundal, dicandikan di Sajabung, nama resmi candi itu: Bajra Jina Parimita Pura. Selanjutnya terjadi peristiwa Sadeng. Tadah yang menjadi patih Mangkubumi menderita sakit, sering sekonyong konyong tak berkuasa menghadap, memajukan permohonan kehadapan Paduka batara untuk diijinkan berhenti, tidak dikabulkan oleh Seri Ratu di Kahuripan, Sang Arya Tadah kembali pulang, memanggil Gajah Mada, mengadakan pembicaraan di ruang tengah, Gajah Mada diminta menjadi Patih di Majapahit, meskipun tidak berpangkat Mangkubumi: "Saya akan membantu didalam soal soal yang luar biasa," Gajah Mada berkata: " Anaknda tidak sanggup jika menjadi patih sekarang ini, jika sudah kembali dari Sadeng, hamba mau menjadi patih, itupun jika tuan suka memaafkan segala kekurangan kemampuan anaknda ini." "Nah, buyung, saya akan membantu didalam segala kesukaran, dan didalam soal soal yang luar biasa." Sekarang besarlah hati Gajah Mada, mendengar kesanggupan sang Arya Tadah itu. kini ia berangkat ke Sadeng. Mangkubumi marah, memberi perintah kepada menteri luar, banyak mereka yang berangkat Kembar dijumpai didalam hutan, mereka berdiri diatas pohon yang roboh, berayun ayun seperti orang naik kuda sambil melambai lambaikan cambuk kepada mereka yang menyuruh agar Kembar kembali dan tidak melanjutkan perjalanan. Disampaikanlah pesan dari para menteri semua, terutama juga dari gusti patih Mangkubumi, menyuruh agar Kembar kembali, karena dikhabarkan mendahului mengepung orang orang Sadeng. Dicambuklah muka orang yang menyuruh kembali, tidak kena karena berlindung dibalik pohon, Kembar lalu berkata: "Tidak ada orang yang diindahkan oleh Kembar ini, didalam perang saja tidak mau mengindahkan tuanmu itu." Pergilah yang mendapat perintah untuk menyuruh kembali tadi, dan memberi tahu semua yang dikatakan oleh Kembar. Gajah Mada diam, merasa sangat diperolok olok, orang orang Sadeng dikepung, Tuhan Waruju seorang Dewa Putera dari Pamelekahan, jikalau membunyikan cambuk, terdengar di ruang angkasa, terperanjat orang Majapahit. Segera Sang Sinuhun tadi datang, mengalahkan Sadeng. Peristiwa Tanca dan Sadeng itu berselat tiga tahun, pada tahun saka: Tindakan Unsur Lihat Daging, atau: 1256. Setelah Kembar kembali dari Sadeng, lalu menjadi bekel araman, Gajah Mada menjadi Angabehi, Jaran Baya, Jalu, Demang Bucang, Gagak Nunge, Jenar dan Arya Rahu mendapat pangkat, Lembu Peteng menjadi Tumenggung. Gajah Mada menjadi patih Mangkubumi, tidak mau mengambil istirahat, Gajah Mada berkata: "Jika pulau pulau diluar Majapahit sudah kalah, saya akan istirahat, nanti kalau sudah kalah Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya menikmati masa istirahat." Pada waktu itu para menteri sedang lengkap duduk menghadap di balai penghadapan. Kembar memperolok olok Gajah Mada dengan menyebut kesalahan kesalahan dan kekurangan kekurangannya, dan menumpahkan telempak, Ra banyak ikut serta menambah mengemukakan celaan celaan. Jabung Terewes, Lembu Peteng tertawa. lalu Gajah Mada turun mengadukan soal itu kehadapan batara di Koripan, baginda marah, kemarahan dan penghinaan ini disampaikan kepada Arya Tadah. Dosa Kembar telah banyak, Warak dilenyapkan, tak dikatakan pada Kembar, mereka mati semua.
X. Selanjutnya terjadi peristiwa orang orang Sunda di Bubat.
Seri Baginda Prabu mengingini puteri Sunda. Patih Madu mendapat perintah menyampaikan permintaan kepada orang Sunda, orang Sunda tidak berkeberatan mengadakan pertalian perkawinan. Raja Sunda datang di Majapahit, yalah Sang Baginda Maharaja, tetapi ia tidak mempersembahkan puterinya. Orang Sunda bertekad berperang, itulah sikap yang telah mendapat sepakat, karena Patih Majapahit keberatan jika perkawinan dilakukan dengan perayaan resmi, kehendaknya yalah agar puteri Sunda itu dijadikan persembahan. Orang Sunda tidak setuju. Gajah Mada melaporkan sikap orang orang Sunda. Baginda di Wengker menyatakan kesanggupan: "jangan khawatir, kakak Baginda, sayalah yang akan melawan berperang." Gajah Mada memberitahu tentang sikap orang Sunda. Lalu orang Majapahit berkumpul, mengepung orang Sunda. Orang Sunda akan mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak diperkenankan oleh bangsawan bangsawannya, mereka ini sanggup gugur dimedan perang di Bubat, tak akan menyerah, akan mempertaruhkan darahnya. Kesanggupan bangsawan bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka pada fihak Sunda yang bersemangat, yalah: Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji Melong, orang orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan, Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni, Orang Siring, Satrajali, Jagadsaja, semua rakyat Sunda bersorak. Bercampur dengan bunyi bende, keriuhan sorak tadi seperti guruh. Sang Prabu Maharaja telah mendahului gugur, jatuh bersama sama dengan Tuhan Usus. Seri Baginda Parameswara menuju ke Bubat, ia tidak tahu bahwa orang orang Sunda masih banyak yang belum gugur, bangsawan bangsawan, mereka yang terkemuka lalu menyerang, orang Majapahit rusak. Adapun yang mengadakan perlawanan dan melakukan pembalasan, yalah: Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya. Semua menteri araman itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju tempat Gajah Mada, masing masing orang Sunda yang tiba dimuka kereta, gugur, darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang orang Sunda, tak ada yang ketinggalan, pada tahun saka: Sembilan Kuda Sayap Bumi, atau: 1279. Peristiwa Sunda itu bersama sama dengan peristiwa Dompo. Sekarang Gajah Mada menikmati masa istirahat, sebelas tahun ia menjadi Mangkubumi. Berhubung dengan puteri Sunda itu mati, maka Batara Prabu lalu kawin dengan anak perempuan Baginda Prameswara, yalah: Paduka Sori, dari perkawinan itu lahirlah seorang anak perempuan, yalah Seri Ratu di Lasem Sang Ayu, dari perkawinannya dengan isteri lain, lahirlah baginda di Wirabumi, yang diambil menjadi anak angkat Seri Ratu di Daha. Seri ratu di Pajang mempunyai tiga orang anak: Seri Baginda Hyang Wisesa, nama kesatriyannya Raden Gagak Sali, namanya sebagai Raja Aji Wikrama, kawin dengan Seri Ratu di Lasem yalah: Sang Ayu, lalu mempunyai seorang anak, yalah: Seri Baginda Wekasing Suka, anak yang kedua perempuan, yalah: Seri Ratu di Lasem Sang Alemu, kawin dengan baginda di Wirabumi, adapun anak yang ketiga juga perempuan, menjadi Seri ratu di Kahuripan. Lalu terjadi peristiwa upacara selamatan roh nenek moyang yang dinamakan Srada Agung, pada tahun saka: Empat Ular Dua Tunggal, atau: 1284. Sang Patih Gajah Mada wafat pada tahun saka: Langit Muka Mata Bulan, atau 1290, tiga tahun lamanya tak ada yang mengganti menjadi patih. Gajah Enggon menjadi patih pada tahun saka: Sifat Sembilan Sayap Orang, atau: 1293. Seri Ratu di Daha wafat, dicandikan di Adilangu, nama resmi candi itu Gunung Purwawisesa. Seri Ratu di kahuripan wafat, dicandikan di Panggih, nama resmi candinya Gunung Pantarapura. Selanjutnya terjadi peristiwa gunung baru pada tahun saka: Ular Liang Telinga Orang, atau: 1208. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, pada minggu Madasia, tahun saka: Pendeta Sunyi Sifat Tunggal, atau: 1307. Baginda di Tumapel wafat, ia wafat di Suniyalaya pada tahun saka: Gajah Sunyi Tindakan Ekor, atau" 1308, dicandikan di Baginda Hyang Wisesa mempunyai anak, (1) Seri Baginda di Tumapel (2) Perempuan, yalah: Seri Ratu Prabu-stri, yang lalu mempunyai nama nobatan: Dewi Suhita (3) Bungsu laki laki, yalah: Baginda di Tumapel alias Sri Kerta Rajasa Baginda di Pandan Salas mempunyai anak (1) Baginda di Koripan, alias Baginda Hyang Prameswara, nama nobatannya Aji Ratna Pangkaja, kawin dengan Seri Ratu Prabu-stri, tidak berputera (2) Perempuan, Sang ratu Ratu di Mataram, yang kawin dengan Baginda Hyang Wisesa (3) Perempuan, Sang ratu di Lasem, yang kawin dengan Baginda di Tumapel (4) Perempuan lagi, Sang Ratu di Matahun. Baginda di Tumapel mempunyai anak laki laki, menjadi raja di Wengker, kawin dengan Seri ratu di Matahun, anak kedua menjadi raja di Paguhan, anak ketiga lahir dari isteri muda, perempuan, yalah: Seri Ratu di Jagaraga, kawin dengan Baginda Parameswara, tidak beranak, anak kelima, yalah: Sang ratu di Pajang, juga kawin dengan Baginda di Paguhan, jadi dibayuh sama sama saudara, tidak mempunyai anak. Baginda di Keling kawin dengan Seri ratu di Kembang Jenar. Anak laki laki Baginda di Wengker, yalah Baginda di Kabalan. Baginda di Paguhan mempunyai anak dari isteri kelahiran golongan kesatriya, perempuan yalah: Sang ratu di Singapura, kawin dengan Baginda di Pandan Salas. Baginda Prameswara di Pamotan, wafat pada tahun saka: Langit Rupa Menggigit Bulan, atau: 1310, ia dicandikan di Manyar, nama resmi candinya Wisnu Bawana Pura. Seri ratu di Matahun wafat, dicandikan di Tiga Wangi, nama resmi candi itu Kusuma Pura. Paduka Sori wafat. Sang ratu di Pajang wafat, dicandikan di Embul, nama resmi candi Girindra Pura. Baginda di Paguhan wafat, dicandikan di Lobencal, nama resmi candi Parwa Tiga Pura. Baginda Hyang Wekasing Suka, wafat pada tahun saka: Bumi Rupa Ayah Ibu, atau 1311. XI. Baginda Hyang Wisesa dinobatkan menjadi raja. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Prangbakat, pada tahun saka: Muka Orang Tindakan Ular, atau : 1317. Selanjutnya Gajah Enggon meninggal dunia pada tahun saka: Sunyi Sayap Tindakan Orang, atau: 1320. ia menjadi patih 27 tahun lamanya. Baginda Hyang Wekasing Suka mengangkat Gajah Manguri menjadi patih. Baginda Hyang Wekasing Suka wafat, ia wafat di Indra Bawana, pada tahun saka: Orang Mata Api Bulan, atau 1321, dicandikan di Tanjung, nama resmi candi Parama Suka Pura. Baginda Hyang Wisesa menjadi pendeta pada tahun saka: Mata Sayap api Bulan, atau: 1322.
XII. Seri Ratu Batara Isteri dinobatkan menjadi Raja.
Sang ratu di Lasem wafat di Kawidyadaren, dicandikan di Pabangan, nama resmi candi: Laksmi Pura. Sang Ratu di Kahuripan wafat. Sang Ratu di Lasem yalah Sang ratu Gemuk wafat. Baginda di Pandan Salas wafat, dicandikan di Jinggan, nama resmi candi Sri Wisnu Pura. Baginda Hyang Wisesa bercekcok dengan Baginda Wirabumi, mereka segan bersama sama berbicara, saling diam mendiamkan, akhirnya berpisah sampai itu terjadi pada tahun saka 1323. Tiga tahun kemudian lalu terjadi lagi huru hara. Kedua duanya mengumpulkan orang orangnya, Baginda di Tumapel dan baginda Hyang Prameswara diminta datang. "Siapakah yang harus kami ikuti." maka terjadilah perang Ia masgul dan bertekad akan pergi. Baginda "jangan tergesa gesa pergi, sayalah yang akan melawan." Baginda Hyang Wisnu menurut dan mengumpulkan orang orangnya lagi, dihulubalangi oleh Baginda di Tumapel. di daha diambil oleh baginda Hyang Wisesa, dibawa keatas perahu, dikejar oleh Raden Gajah yang mempunyai nama nobatan Ratu Angabaya, baginda Narapati. Terkejar didalam perahu, dibunuh, dipenggal kepalanya, dibawa ke Majapahit, dicandikan di Lung, nama resmi candinya Gorisa, pada tahun saka: Ular Sifat Menggigit Bulan, atau: 1328, pada tahun itu terjadi huru hara ini. Empat tahun kemudiannya Gajah Manguri meninggal dunia pada tahun saka: Sayap Sifat Tindakan Orang, atau : 1332. Gajah Lembaga menjadi patih, lamanya 12 tahun. Selanjutnya terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Julung Pujut, pada tahun saka: Tindakan Kitab Suci Sifat Orang, atau: 1343. Gajah Lembana meninggal dunia pada tahun saka: Api Api Tindakan Bumi, atau: 1335. Tuhan Kanaka menjadi patih lamanya 3 tahun. Seri Ratu di Daha wafat, Seri Ratu di Matahun wafat, Seri Ratu di Mataram wafat. Selanjutnya terjadi masa kekurangan makan yang sangat lama pada tahun saka: Ular Jaman Menggigit Orang, atau : 1348. Baginda di Tumapel wafat pada tahun saka: Sembilan Jaman Tindakan Orang, atau: 1349, dicandikan di Lokerep, nama candinya Asmarasaba. Baginda di Wengker wafat, dicandikan di Sumengka.
XIII. Tuhan Kanaka meninggal dunia pada tahun saka: Sayap Luka Sifat Orang, atau : 1363. Tujuh belas tahun lamanya menjadi patih.
Seri ratu di Lasem wafat di Jinggan. Baginda di Pandan Salas wafat. Raden Jagulu, Raden Gajah dilenyapkan, karena dianggap melakukan dosa, yalah: memenggal kepala Baginda di Wirabumi, pada tahun saka: Unsur Memanah Telur Tunggal, atau: 1355. Seri Ratu di Daha menjadi raja pada tahun saka: Sembilan Baginda Parameswara wafat, ia wafat di Wisnu Bawana, pada tahun saka: Ular Golongan Api Bulan, atau tahun: 1359, dicandikan di Singajaya. Baginda Keling wafat, dicandikan di Apa Apa. Seri Ratu Prabu-stri wafat pada tahun saka: Sembilan Rasa Api Bulan, atau: 1369, dicandikan di Singajaya.
XIV. Lalu Baginda Tumapel mengganti menjadi raja.
Baginda di Paguhan melenyapkan orang orang di Tidung Galating, dan ini dilaporkan ke Majapahit. Lalu terjadi gempa bumi pada tahun saka: Sayap Golongan Menggigit Bulan, atau: 1372. Baginda di Paguhan wafat di Canggu, dicandikan di Sabyantara. Baginda Hyang wafat, dicandikan di Puri. Baginda di Jagaraga wafat. Seri Ratu di Kabalan wafat, dicandikan di Pajang Wafat, dicandikan menjadi satu di Sabyantara. Lalu terjadi gunung meletus didalam minggu Kuningan, pada tahun saka: Belut Pendeta Menggigit Bulan, atau: 1373. Baginda Prabu wafat pada tahun saka: Api Gunung Tindakan Ekor, atau: 1373, nama resmi candinya Kerta Wijaya Pura.
XV. Baginda di Pamotan menjadi raja di Pamotan menjadi raja di Keling, Kahuripan, nama nobatannya Sri Rajasawardana.
Sang Sinagara, dicandikan di Sepang pada tahun saka: Keinginan Kuda menggigit Orang, atau: 1375.
XVI. Tiga tahun lamanya tidak ada raja.
XVII. Lalu Baginda di Wengker menjadi raja, nama nobatannya Baginda Hyang Purwa Wisesa, pada tahun saka: Pendeta Tujuh Api Menggigit Bulan, atau: 1378.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Landep, pada tahun saka: Empat Ular Tiga Pohon, atau: 1384. Baginda di Daha wafat pada tahun saka: Golongan Pendeta Api Tunggal, atau: 1386. Baginda Hyang Purwa Wisesa wafat, dicandikan di Puri, pada tahun saka: Pendeta Ular Api Bulan, atau: 1388. Lalu Baginda di Jagaraga wafat.
XVIII. Baginda di Pandan Salas menjadi raja di Tumapel, lalu menjadi Baginda Prabu pada tahun saka: Pendeta Ular Tindakan Tunggal, atau: 1388.
Ia menjadi Prabu dua tahun lamanya. Selanjutnya pergi dari istana. Anak anak sang Sinaraga yalah: Baginda di Kahuripan, Baginda di Mataram, baginda di Pamotan dan yang bungsu yalah: baginda Kertabumi, ini adalah paman baginda yang wafat didalam kedatuan pada tahun saka: Sunyi Tidak Jaman Orang, atau: 1400. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, didalam minggu Watu Gunung pada tahun saka: Tindakan Angkasa Laut Ekor, atau: 1403. Demikian itulah kitab tentang para datu. Selesai ditulis di Itcasada di desa Sela Penek, pada tahun saka: Keinginginan Sifat Angin Orang, atau: 1535. Diselesaikan ditulis hari Pahing, Sabtu, minggu Warigadyan, tanggal dua, tengah bulan menghitam, bulan kedua. Semoga ini diterima baik oleh yang berkenan membaca, banyak kekurangan dan kelebihan huruf hurufnya, sukar dinikmati, tak terkatakan berapa banyaknya memang rusak, memang ini adalah hasil dari kebodohan yang meluap luap berhubung baharu saja belajar. Semoga panjang umur, mudah mudahan demikian hendaknya, demikianlah, semoga selamat bahagia, juga sipenulis ini. |
Babad Tanah Jawi
|
Babad Tanah Djawi
Gubahanipun L. VAN RIJCKEVORSEL Directeur Normaalschool Muntilan Kabantu R.D.S. HADIWIDJANA Guru Kweekschool Muntilan Pangecapan J.B. Wolters U.M. Groningen - Den Haag - Weltervreden - 1925 |
Pérangan Kang Kapisan
Babad Jawa Wiwit Jaman Indhu tumekané Rusaking Karajan Majapahit Abad 2 utawa 3 - Abad 16 |
01 Pérangan Kang Kapisan
Bab 1 Karajan Indhu ing Tanah Jawa Kulon (wiwit abad 2 utawa 3) |
Kang wus kasumurupan, karajané bangsa Indhu ana ing Tanah Jawa, kang dhisik dhéwé, diarani karajan "Tarumanagara" (Tarum = tom. kaliné jeneng Citarum).
Karajan iku mau dhèk abad kaping 4 lan 5 Ratu ratuné darah Purnawarman. Mirit saka gambar gambar kembang tunjung kang ana ing watu watu patilasan, darah Purnawarman iku padha nganggo agama Wisnu. Ing tahun 414 ana Cina aran Fa Hien, mulih saka enggoné sujarah menyang patilasané Resi Budha, ing tanah Indhu Ngarep mampir ing Tanah Jawa nganti 5 sasi. Ing cathetané ana kang nerangaké mangkéné : 1. Ing kono akèh wong ora duwé agama (wong Sundha), sarta ora ana kang tunggal agama karo dhèwèkné: Budha. 2. Bangsa Cina ora ana, awit ora kasebut ing cathetané. 3. Barengané nunggang prahu saka Indhu wong 200, ana sing dedagangan, ana kang mung lelungan, karepé arep padha menyang Yèn mangkono dadi dalané dedagangan saka tanah Indhu Ngarep menyang tanah Cina pancèn ngliwati Tanah Jawa. Ing Tahun 435 malah Karajan Tarumanagara mau ora kasumurupan pirang tahun suwéné lan kepriyé rusaké. Wong Indhu ana ing kono ora ngowahaké adat lan panguripané wong bumi, awit pancèn ora gelem mulangi apa apa, lan wong bumi uga durung duwé akal niru kapinterané wong Indhu. Ewa déné meksa ana kaundhakaning kawruhé, yaiku mbatik lan nyoga jarit. |
Babad Tanah Jawi
|
02 Pérangan Kang Kapisan
Bab 2 Karajan Indhu ing Jawa Tengah (abad kaping 6) |
Mirit saka:
1. Cathetané bangsa Cina 2. Unining tulisan tulisan kang ana ing watu watu lan candhi 3. Cathetané sawijining wong Arab, sathithik sathithik mungguh kaananing wong Indhu ana ing Tanah Jawa Tengah dhèk jaman samono. Nalika wiwitané abad kang kanem ana wong Indhu anyar teka ing Tanah Jawa Kulon. Ana ing kono padha kena ing lelara, mulané banjur padha nglèrèg mangétan, menyang Tanah Jawa Tengah. Wong Jawa wektu samono, isih kari banget kapinterané, yèn ditandhing karo wong Indhu kang lagi neneka mau; mulané banjur dadi sor-sorané. Wong Indhu banjur ngadegaké karajan ing Jepara. Omah omah padunungané wong Jawa, ya Enggoné dedagangan lelawanan karo wong Cina; barang dedagangané kayata: emas, salaka, gading lan liya liyané. Cina cina ngarani nagara iku Kalinga, besuké, ya diarani: Jawa. Karajan mau saya suwé saya gedhé, malah nganti mbawahaké karajan cilik cilik 28 (wolu likur). Wong Cina uga nyebutaké asmané sawijining ratu putri: Sima; dikandakaké becik banget enggoné nyekel pangrèhing praja (tahun 674). Tulisaning watu kang ana ciriné tahun 732, dadi kang tuwa dhéwé, katemu ana sacedhaké Magelang, nyebutaké, manawa ana ratu kang jumeneng, jejuluk Prabu Sannaha, karajané gedhé, kang klebu jajahané yaiku tanah tanah Kedhu, Ngayogyakarta, Surakarta lan bokmenawa Tanah Jawa Wétan uga klebu dadi wewengkoné karajan iku. Mirit caritané, karajan kang kasebut iku tata tentrem banget kaya kang kasebut ing tulisan kang katemu ana ing patilasan: Nadyan wong wong padha turu ana ing dalan dalan, ora sumelang, yèn ana bégal utawa bebaya liyané. Mirit kandhané sawijining wong Arab, dhèk tengah tengahané abad kang kaping sanga, ratu ing Tanah Jawa Karajan ing dhuwur iki sakawit ora kawruhan jenengé, nanging banjur ana karangan kang katulis ing watu kang titi mangsané tahun 919, nyebutaké karajan Jawa ing Mataram. Jembar jajahané, mungguha saiki tekan Kedhu, Ngayogyakarta, Kuthané karan : Mendhangkamulan. Wong Arab ngandhakaké, ana ratu Jawa mbedhah karajan Khamer (Indhu Buri). Sing kasebut iki ayaké iya karajan Mataram mau. Kajaba Khamer, karajan Jawa iya Karajan Jawa mau sugih emas lan bumbu crakèn. Wong Arab iya akèh kang lelawanan dedagangan. Sabakdané tahun 928 ora ana katrangan apa apa ing bab kaanané karajan Mataram. Kang kacarita banjur ing Tanah Jawa Wétan. Ayaké baé karajan Mataram mau rusak déning panjebluge gunung Merapi (Merbabu), déné wongé kang akèh padha ngungsi mangétan. Ing abad 17 karajan Mataram banjur madeg manèh, gedhé lan panguwasané irib iriban karo karajan Mataram kuna. Agamané wong Indhu sing padha ngejawa rupa rupa. Ana ing tanah wutah getihe dhéwé ing kunané wong Indhu ngèdhep marang Brahma, Wisnu lan Syiwah, iya iku kang kaaranan Trimurti. Kejaba saka iku uga nembah marang déwa akèh liya liyané, kayata: Ganésya, putrané Bethari Durga. Manut piwulangé agama Indhu pamérangé manungsa dadi patang golongan, yaiku: - para Brahmana (bangsa pandhita) - para Satriya (bangsa luhur) - para Wesya (bangsa kriya) - para Syudra (bangsa wong cilik) Piwulangé agama lan padatané wong Indhu kaemot ing layang kang misuwur, jenengé Wedha. Kira kira 500 tahun sadurungé wiwitané tahun Kristen, ing tanah Indhu ana sawijining darah luhur peparab Syakya Muni, Gautama utawa Budha. Mungguh piwulangé gèsèh banget karo agamané wong Indhu mau. Resi Budha ninggal marang kadonyan, asesirik lan mulang muruk marang wong. Kajaba ora nembah dewa dewa, piwulangé: sarèhné wong iku mungguhing kamanungsané padha baé, dadiné ora kena dipérang patang golongan. Para Brahmana Indhu mesthi baé ora seneng pikire, mulané kerep ana pasulayan gedhé. Ana ing tanah Indhu wong Budha mau banjur peperangan karo wong agama Indhu. Wusana bangsa Budha kalah lan banjur ngili menyang Ceylon sisih kidul, Indu Buri, Thibet, Cina, Jepang. Mungguh wong agama Indhu iku pangèdêpé ora padha. Ana sing banget olèhe memundhi marang Syiwah yaiku para Syiwaiet (ing Tanah Jawa Tengah); ana sing banget pangèdêpé marang Wisynu, yaiku para Wisynuiet (ing Tanah Jawa Kulon). Kajaba saka iku uga akèh wong agama Budha, nanging ana ing Tanah Jawa agama agama iku bisa rukun, malah sok dicampur baé. Petilasané agama Indhu mau saikiné akèh banget, kayata: - Candhi candhi ing plato Dieng (Syiwah), iku bokmenawa yasané ratu darah Sanjaya. - Candhi ing Kalasan ana titi mangsané tahun 778, ayaké iki candhi tuwa dhéwé (Budha), yasané ratu darah Syailendra. - Candhi Budha kang misuwur dhéwé, yaiku Barabudhur lan Mendut. - Candhi Prambanan (Syiwah). Ing sacedhaké Prambanan ana candhi campuran Budha lan Syiwah. Relief Candhi Barabudhur |
Babad Tanah Jawi
|
03 Pérangan Kang Kapisan
Bab 3 Karajan Ing Tanah Jawa Wétan (wiwitané abad 10 - tahun 1220) |
Ing dhuwur wus kasebutaké yèn Tanah Jawa Wétan, kabawah karajan Indhu ing Mataram; nanging wong Indhu kang manggon ana ing Tanah Jawa Wétan ora pati akèh, yèn katimbang karo kang manggon ing Tanah Jawa Tengah (Kedhu).
Marga saka iku wong Indhu kudu kumpul karo wong bumi, prasasat tunggal dadi sabangsa. Ing wiwitané abad 10 ana pepatihing karajan Tanah Jawa Tengah aran Empu Sindhok lolos mangétan. Let sawatara tahun empu Sindhok mau jumeneng ratu ing Tanah Jawa Wétan, karajané ing Kauripan (Paresidhènan Surabaya sisih kidul). Ambawahaké: Enggoné jumeneng ratu tekan tahun 944 lan iya jejuluk Nata ing Mataram. Nata ing Mataram mau banget pangèdêpé marang agama Budha. Empu Sindhok misuwur wasis enggoné ngerèh praja. Ana cathetan kang muni mangkéné: "Awit saka suwéning enggoné jumeneng ratu, marcapada katon tentrem; wulu wetuning bumi nganti turah turah ora karuhan kèhé." Ing tahun 1010 Erlangga tetep jumeneng ratu, banjur nerusaké enggoné mangun paprangan lan ngelar jajahan. Ing tahun 1037 enggoné paprangan Sang Prabu Erlangga ora kesupèn marang kabecikaning para pandhita lan para tapa, kang gedhé pitulungané nalika panjenengané lagi kasrakat. Minangka pamalesing kabecikané para pandhita, Sang Nata yasa pasraman apik banget, dumunung ing sikile gunung Penanggungan. Pasraman mau kinubeng ing patamanan kang luwih déning asri, lan rerenggané sarwa peni sarta endah. Saka ediné, nganti misuwur ing manca praja, saben dina aselur wong kang padha sujarah mrono. Pangadilané Sang Nata jejeg. Wong désa kang nrajang angger angger nagara padha kapatrapan paukuman utawa didhendha. Kècu, maling, sapanunggalané kapatrapan ukum pati. Sang Prabu enggoné nindakaké paprentahan dibantu ing priyagung 4, padha oleh asil saka pametuning lemah lenggahè. Saka enggoné manggalih marang tetanèn yaiku pagawéyaning kawula kang akèh, Sang Nata yasa bendungan gedhé ana ing kali Brantas. Sang Nata uga menggalih banget marang panggaotan lan dedagangan. Kutha Tuban nalika samono panggonan sudagar, oleh biyantu akèh banget saka Sang Prabu murih majuning dedagangan lan lelayaran. Sang Nata yèn sinéwaka lenggah dhampar (palenggahan cendhèk pesagi), ngagem agem ageman sarwa sutra, remané diukel lan ngagem cênéla. Yèn miyos nitih dwipangga utawa rata, diarak prajurit 700. Punggawa lan kawula kang kapethuk tindaké Sang Nata banjur padha sumungkem ing lemah (ndhodhok ngapurancang?). Para kawula padha ngoré rambut, enggoné bebedan tekan ing wates dhadha. Omahè kalebu asri, nganggo payon gendhèng kuning utawa abang. Wong lara padha ora tetamba mung nyuwun pitulunganing para dewa baé, utawa marang Budha. Wong wong padha seneng praon lan lelungan turut gunung, akèh kang nunggang tandhu utawa joli. Dhèk samono wong wong iya wis padha bisa njogèt, gamelané suling, kendhang lan gambang. Karsané Sang Prabu besuk ing sapengkeré kang gumanti jumeneng Nata putrané loro pisan, mulané kratoné banjur diparo: Jenggala (sabageyaning: Déné kang minangka watesé: pager témbok kang sinebut "Pinggir Raksa", wiwit saka puncaking Gunung Kawi, mangisor, nurut kali Leksa banjur urut ing brangloré kali Brantas saka wétan mangulon tekan ing désa kang saiki aran "Juga", nuli munggah mangidul, terusé kira kira nganti tumeka ing pasisir. Gugur gugurané tembok iku saiki isih ana tilasé, kayata ing sacedhaking kali Leksa, sakulon lan sakiduling kali Brantas, ing watesing afd. Mungguhing babad Jawa jumenengé Prabu Erlangga kaanggep minangka pepadhang sajroning pepeteng, awit rada akèh caritané kang kasumurupan. Kawruh kasusastran Layang layang mau basané diarani: Jawa Kuna, kayata: 1. Layang Mahabarata 2. Layang Ramayana lan Arjuna Wiwaha. Karajan Jenggala ora lestari gedhé, awit pecah pecah dadi karajan cilik cilik, marga saka diwaris marang putraning Nata; yaiku praja Jenggala (Jenggala anyar); Tumapel utawa Singasari lan Urawan. Karajan cilik cilik kang cedhak wates Kedhiri or suwé banjur ngumpul mèlu Kedhiri, liyané isih terus madeg dhéwé nganti tekan abad 13. Kerajan Kedhiri (Daha, Panjalu) mungguha saiki mbawahaké paresidhènan Kedhiri, sapérangané Pasuruwan lan Madiyun. Kuthané ana ing kutha Kedhiri saiki. Karajan mau bisa dadi kuncara. Ing wektu iku kasusastran Jawa dhuwur banget, nalika jamané Jayabaya (abad 12) ngluwihi kang uwis uwis lan tumekané jaman saiki isih sinebut luhur, durung ana kang madhani. Ing tahun 1104 ing kedhaton ana pujangga jenengé: Triguna utawa Managocna. Pujangga iku sing nganggit layang Sumanasantaka lan Kresnayana. Radèn putra utawa Panji kang kacarita ing dongèng kae, bokmenawa iya ratu ing Daha, kang jejuluk Prabu Kamesywara I. Jumeneng ana wiwitané abad kang kaping 12. Garwané kekasih ratu Kirana (Candra Kirana) putrané ratu Jenggala. Ing mangsa iki ana pujangga jenengé Empu Dharmaja nganggit layang Smaradhana. Radèn Panji nganti saiki tansah kacarita ana lakoné wayang gedhog lan wayang topeng. Pujanggané Jayabaya aran Empu Sedah lan Empu Panuluh. Empu Sedah ing tahun Saka 1079 (= 1157) methik sapéranganing layang Mahabarata, dianggit lan didhapur cara Jawa, dijenengaké layang Bharata Yudha. Wong Jawa ing wektu iku |
04 Pérangan Kang Kapisan
Bab 4 Ken Angrok Nelukaké Karajan Karajan Cilik (1220 - 1247) |
Ing tahun 1222 ana ratu ing Tumapel utawa Singasari, jenengé Ken Angrok.
Critané Ken Angrok iki saka layang Pararaton. Ketemuné layang iki ana ing Ken Angrok lair ana ing sacedhaké Tumapel (Singasari), asal wong tani lumrah baé. Ken Angrok kacarita bagus rupané lan bisa nenarik katresnaning wong, nanging banget kareme marang pangaji aji lan wani marang penggawé luput. Ing sawijining dina ana Brahmana ketemu karo dhéwékné, kandha yèn dhéwékné titising Wisnu. Anggoné kandha mangkono iku, awit Brahmana mau ngerti yèn Ken Angrok iku wong kang gedhé karepe lan kenceng budiné. Brahmana banjur golèk dalan bisané Ken Angrok kacedhak karo adipati ing kono, Sang Tunggul Ametung. Ora antara suwé kelakon Ken Angrok kaabdèkaké. Bareng wis mangkono, Ken Angrok banjur tansah golèk dalan kapriyé enggoné bisa ngendhih Sang Adipati, nggentèni jumeneng. Ketemuning nalar Ken Angrok banjur ndandakaké keris becik marang Empu Gandring. Sawisé keris dadi, katon becik temenan, nganti mitrané Ken Angrok aran Keboijo kepéncut kepéngin nganggo, banjur nembung nyilih: oleh. Saka senengé, keris mau saben dina dianggo sarta dipamèr pamèraké, dikandhakaké duwèké dhéwé. Bareng Kelakon séda, keris ditinggal ing sandhingé layon. Urusaning prakara: mitrané Ken Angrok sing kena ing dakwa, diputus ukum pati. Ken Angrok banjur bisa oleh Sang putri randaning Tunggul Ametung lan gumanti madeg adipati: Sang Putri asmané Ken Dhedhes. Sasuwéné dicekel Ken Angrok negarané tata, reja, wong cilik banget sungkemé. Sawisé mbedhah karajan cilik cilik ing Jenggala, Ken Angrok banjur emoh kebawah Kedhiri, malah ing tahun 1222 mbedhah praja Kedhiri nganti kelakon menang, Ratu ing Kedhiri Prabu Kertajaya séda nggantung sabalané kang padha tuhu. Kedhiri banjur ditanduri adipati kabawah Singasari. Bareng para ratu darah Empu Sindhok wis kalah kabèh karo Ken Angrok, Ken Angrok banjur jumeneng Ratu gedhé, jejuluk Prabu Rejasa, yaiku kang nurunaké para ratu ing Majapait. Kacarita Sang Retna Dhedhes nalika sédané adipati Tunggul Ametung Wiwit timur nganti diwasa Sang Pangéran ora ngerti yèn satemené dudu putrané Prabu Rejasa, nanging rumangsa yèn ora ditresnani ing Sang Prabu, béda banget karo rayi rayiné. Ing sawijining dina Anusapati kelair marang ibuné mangkéné: "Ibu, punapa, déné Kangjeng rama punika teka boten remen dhateng kula?" Sang Retna banget trenyuhing galih mireng atur sasambaté kang putra, wasana banjur keprojol pangandikané; kang putra dicritani lelakoné wiwitan tekan wekasan. Anusapati banget ing pangunguné, sanalika banjur duwé sedya males ukum, nanging isih sinamun ing semu. Keris yasané Empu Gandring disuwun, pawatané mung kepingin banget anganggo. Kang ibu lamba ing galih, keris diparingaké. Anusapati banjur nimbali abdiné kekasih, diparingi keris mau lan diweruhaké ing wewadiné. Benginé Sang Prabu séda kaprajaya ing duratmaka. Layoné Sang Prabu dicandhi ana ing Kagenengan (cedhak Anusapati nggentèni jumeneng Nata. Anusapati jumeneng ora suwé, awit Radèn Tohjaya ngerti yèn Anusapati kang nyédani ramané, mulané sumedya males ukum lan iya kelakon. Tohjaya jumeneng Nata, nanging iya ora suwé. Tohjaya utusan mantriné aran Lembu Ampal, didhawuhi nyirnakaké kalilipé loro, yaiku: Ranggawuni, putrané Anusapati, lan nakdulure kang aran Narasingamurti; yèn ora bisa kelakon, Lembu Ampal dhéwé bakal kena ukum pati. Dumadakan ana sawijining Brahmana kang welas marang radèn loro, banjur wewarah saperluné. Satriya loro banjur ndhelik ana ing panggonané Panji Patipati. Lembu Ampal nggolèki radèn loro ora ketemu, banjur ora wani mulih, ngungsi marang Panji Patipati. Bareng ana ing kono mbalik ngiloni radèn loro, malah ngrembugi para punggawa kang ora cocog karo Tohjaya diajak ngraman, wasana kelakon, Sang Prabu nganti nemahi séda. Ranggawuni jumeneng Nata ajejuluk Syri Wisynuwardhana nganti nakdhèrèké Narasinga. Nganti tekan ing séda priyagung loro mau rukun banget, nganti dibasakaké: "Kaya Wisynu lan kang raka Bathara Endra". Karatoné mundhak gedhé pulih kaya dhèk jamané Prabu Erlangga, malah jajahané wuwuh Madura. Sang Nata séda ing tahun 1268, layoné diobong kaya adat, awuné sing separo dicandhi ana ing Welèri, ditumpangi reca Syiwah, sing separo dipethak ana candhi Jago (Tumpang) nganggo reca Budha. Dadi tetéla ing wektu iku agama Syiwah karo Budha campur. |
Babad Tanah Jawi
|
05 Pérangan Kang Kapisan
Bab 5 Jumenengé Kartanagara ing Tumapel (1268 - 1292) |
Ratu Singasari kang Kaping V, jumeneng mekasi. Sasédané Syri Wisynuwardhana pangéran pati jumeneng Nata, ajejuluk Prabu Kartanagara.
Sang Prabu manggalih marang kawruh kagunan, lan kasusastran, lan iya manggalih marang undhaking jajahan, nanging kurang ngatos atos, lan kersa ngunjuk nganti dadi wuru. Ana nayakaning praja aran Banyak Widhe utama Arya Wiraraja, tepung becik lan Jayakatwang, adipati ing Daha. Satriya iku ora sungkem marang ratuné, malah Dumadakan ana punggawa kang matur prakara iku, nanging Sang Prabu ora menggalih, Wiraraja malah diangkat dadi adipati ana ing Madura. Pepatihe Sang Nata aran Raganatha rumeksa banget marang ratuné, nganti sok wani ngaturi pènget marang Sang Prabu ing bab kang ora bener, nanging Sang Prabu ora rena ing galih, ora nimbangi rumeksaning patih setya iku, malah banjur milih patih liya kang bisa ngladèni karsané. Patih wredha diundur, winisuda dadi: nayaka pradata, dadi Patih anyar senengé mung ngalem marang ratuné lan ngladosi unjuk unjukan. Ana utusan saka ratu agung ing nagara Cina (Chubilai) dhawuh supaya Prabu Kartanagara nyalirani dhéwé utawa wakilsuwana marang nagara Cina perlu caos bekti (tahun 1289). Sang Prabu duka banget. Bathuking Cina utusan digambari pasemon kang ora apik, nelakaké dukané Sang Prabu. Bareng tekan ing nagara Cina patrape ratu Jawa kang mangkono iku mau njalari dukané ratu binathara ing Cina, Ing tahun1292 ana prajurit gedhé saka ing Cina arep ngukum ing kuwanéné wong Jawa. Wiraraja sasuwéné ana ing Madura isih ngrungok ngrungokaké apa kang kalakon ana ing Singasari, lan iya weruh uga yèn ing wektu iku prajurit Singasari dilurugaké menyang Wiraraja ngajani Jayakatwang akon nangguh mbedhah Singasari, mumpung nagara lagi kesisan bala. Jayakatwang ngleksanani, lan Singasari kelakon bedhah. Ratu lan patihé katungkep ing mungsuh isih terus unjuk unjukan baé (wuru), mulané ora rekasa pinurih sédané. Radèn Wijaya, wayahè Narasinga, nuli umangsah ngetog kaprawiran mbelani nagara lan ratuné, nanging wis kaslepek karoban wong Daha, mulané banjur kepeksa ngoncati, mung kari nggawa bala 12, genti genti nggéndhong Sang Putri garwané Radèn Wijaya, putrané Prabu Kartanagara. Lampahè Radèn Wijaya sasentanané nusup angayam alas. Kalebu wilangan 12 iku ana satriyané loro, putrané Wiraraja, duwè atur marang Gustiné supaya ngungsi menyang Madura. Sang Pangéran mauné ora karsa, nanging suwé suwé nuruti. Ana ing Madura ditampani kalawan becik. Rembugé Wiraraja, Radèn Wijaya diaturi suwita menyang Daha. Wiraraja sing arep nglantaraké. Yèn wis kelakon suwita Radèn Wijaya diaturi nyetitèkaké para punggawa ing Daha, sapa sing kendel utawa jirih, tuhu utawa lamis. Yèn wis antara suwé diaturi nyuwun tanah tanah Trik, dibabada banjur dienggonana. Radèn Wijaya nurut ing pitudhuh, lan iya kelakon suwita ing Daha. Kacarita pasuwitané kanggep banget, amarga saka pinteré nuju karsa, lan saka pinteré olah gegaman; wong sa Daha ora ana sing bisa ngalahaké. Kabèh piwulangé Wiraraja ditindakaké, dilalah Sang Prabu teka dhangan baé, malah bareng tanah Trik wis dibabad, Radèn Wijaya nyuwun manggon ing kono iya dililani. Kacarita nalika babade tanah Trik mau, ana wong kang methik woh maja dipangan, nanging rasané pait. Awit saka iku désa ingkono mau banjur dijenengaké Majapait. Bareng Radèn Wijaya wis manggon ing Majapait, rumangsa wis wayahè tata tata males ukum, ngrusak kraton Daha, ananging Wiraraja akon sabar dhisik, awit isih ngenteni prajurit saka nagara Cina kang arep ngukum wong Singasari. Karepe Wiraraja arep ngréwangi Cina baé dhisik, besuké arep mbalik mungsuh Cina. Wiraraja banjur boyong sakulawargané lan saprajurite menyang Majapait ngumpul dadi siji karo Radèn Wijaya. |
Babad Tanah Jawi
|
06 Pérangan Kang Kapisan
Bab 6 Karajan Melayu |
Ing Bab 5 ana critané Prabu Kartanagara enggoné anjangka undhaking jajahané.
Ana ing tanah Ing ngisor iki crita sathithik tumraping karajan karajan ing tanah Melayu. Kacarita ratu ing Funan, kira kira ing sajroning abad 3 ngelar jajahan, ngelun tanah Sumatra, Jawa lan liya liyané, ayaké ratu iku kang yasa reca reca ing tanah Pasémah. Ing abad kapitu ana golonganing para pangéran saka ing Indhu Buri, padha manggon ing sakiwa tengening Ratu ratuné padha darah Warman, isih dumunung sanak karo darah Purnawarman ing Tanah Jawa dhèk abad 4 - 5, apadéné darah Mulawarman ing Kutai lan Bornéo dhèk watara tahun 400. Nagara çrivijaya jajahané kira kira Ing tahun 686 ratu agung ing negara çrivijaya nglurugi Tanah Jawa, awit Tanah Jawa ora tuhu pangèdhêpé marang çrivijaya. Sajroning abad 10 prajurit Jawa genti nglurugi çrivijaya, menang, nanging ora suwé çrivijaya bisa kombul manèh. Praja iku ajeg enggoné nglakokaké utusan marang Naréndra ing Cina. Ing sajroning abad 12 lan 13 nagara gedhé çrivijaya pecah dadi karajan cilik cilik. Darah Warman jumeneng ana ing tanah kang sinebut tanah: "Melayu" yaiku saikiné Jambi. Rèhning pasisiré tanah Melayu kono akèh rerusuh, wongé akèh kang padha ngungsi marang tanah pagunungan kang loh, ana ing kono padha dedhukuh. Bareng Tanah Jawa gedhé panguwasané, Prabu Kartanagara (1268 - 1292) kalakon bisa ngrusak kutha Paséi, lan ngejegi Jambi, Palembang, Riouw sarta kutha kutha akèh ing Bornéo apadéné pulo pulo ing Moloko. Ing saantaraning tahun 1275 lan 1293 wong Jawa nglurugi tanah pagunungan Jambi mau yaiku tanah kang besuké aran Menangkabau. Lurugan iku diarani: Pamalayu. Ing tahun 1268 Prabu Kartanagara angganjar reca marang ratu ing Dharmmaçraya (Darmasraya) uga dumunung ing tanah Jambi, ing saikiné ora adoh karo Sungai Lansat. Karajan iku ing besuké kalebu jajahan Majapait, rajané darah Warman jejuluk Tribuwana (Mauliwarman) kagungan garwa bangsa Melayu, kang putriné (putrané putri) ayaké dai garwané Radèn Wijaya biyèn. Sang Raja Tribhuwana mèlu karo bangsa Jawa nglurugi tanah Padhang Hulu. Miturut carita Melayu, lurugan mau ora oleh gawé, mung marga saka klebu ing gelar, kalah enggoné adu kebo, mulané kuthané banjur jeneng Menangkabau iku. Ana raja wewengkoné karajan Dharmmaçraya jejuluk Adityawarman nagarané ing Malayupura, kang ing tahun 1347 wus merdika, ambawa pribadhi, iku nglurugi Menangkabau, nanging ora nganti dadi perang, malah banjur diangkat dadi raja ing kono, awit pancèn dianggep bangsa Melayu. Jumenengé ana ing Menangkabau wiwit tahun 1347 tekan 1375, kecrita ing kawicaksanané lan pinteré nyekel praja. Tumeka sapréné Sang Adityawarman sarta nayakané loro kang aran Papatih Sabatang lan Kyai Katumanggungan isih dipundhi pundhi marang bangsa Menangkabau. Sapungkuré Sang Aditya Negarané pecah pecah, ing saiki isih akèh titiké, mungguh ing kaluhuraning para raja Jawa asal Indhu, ana ing tanah Menangkabau kono, luwih luwih tumraping basa lan sastrané. Darah raja raja kuna ing Menangkabau mau enteke durung lawas, kang pungkas pungkasan putri, sédané lagi saiki baé. Ing tahun 1377 kutha Sanbotsai ing tanah Kang kuwasa ing tanah Awit saka ambruking karaton Majapait, Kaluhuraning Tanah Jawa ana ing |
Babad Tanah Jawi
|
07 Pérangan Kang Kapisan
Bab 7 Perang Cina lan Adegé Karajan Majapait (1292) |
Ing tengah tengahané tahun 1292 Maharaja Choebilai sida ngangkataké wadya bala menyang ing Tanah Jawa perlu arep ngukum Prabu Kartanagara.
Ana ing pacekan ( Kacarita Radèn Wijaya dhèk jaman samono wus wiwit mbalela marang Jayakatwang ratu ing Daha. Sarèhné duwè pangarep arep bisaa ditulungi ing Cina numpes ratu ing Daha, mulané Radèn Wijaya banjur gawé gelar ethok ethok arep teluk marang sénapati Cina. Kabeneran ora let suwé Majapait, panggonané Radèn Widjaya ditempuh ing wong Daha, Radèn Wijaya éntuk pitulungané wong Cina bisa menang. Wasana ing tahun 1293 kutha Daha dikepung ing balané Shih Pih lan Radèn Wijaya, Daha bedhah, ratuné kacekel, pèni pèni raja pèni dijarah rayah, Radèn Wijaya nulungi putri putri, putrané Prabu Kartanagara digawa oncad menyang Majapait. Ora antara suwé, marga saka akalé Wiraraja, Radèn Wijaya bisa ngusir prajurit Cina. Wondéné prajurit mau, senadyan kesusu susu meksa isih bisa anggawa barang rayahan, pengaji mas satengah yuta tail lan tawanan wong satus saka Daha. Radèn Wijaya banjur jumeneng Nata ing Majapait, jejuluk Kertarejasa Jayawardhana utawa Brawijaya I (tahun 1294 - 1309) Sawisé jumeneng Nata, Sang Prabu anggeganjar marang sakabèhing kawula kang mauné labuh, marang panjenengané. Wiraraja dibagèhi tanah Lumajang sauruté. Putriné Kartanagara papat pisan dadi garwané Sang Prabu, lan isi ana garwa paminggir siji saka tanah Melayu aran Sri Indresywari. Saka garwa paminggir iki Sang Prabu kagungan putra R. Kaligemet, kang besuké nggentos kaprabon, ajejuluk Jayanégara, saka Prameswari Sang Prabu peputra putri loro. Ing tahun 1295 R. Kalagemet lagi yuswa sataun wis diangkat dadi pangéran pati lan dadi ratu ing Kedhiri, ibuné kang ngembani nyekel praja Kedhiri. Ing nalika panjenengané Prabu Kertarejasa Jayawardhana iku, Tanah Jawa karo Cina becik manèh, perdagangané gedhé, wong Cina teka ing Tanah Jawa nggawa mas, salaka, merjan, sutra biru, sutra kembang kembangan, bala pecah lan dandanan wesi. Saka ing Tanah Jawa, Cina kulak: beras, kopi kapri, rami, bumbon crakèn luwih luwih mrica, barang barang mas utawa salaka, bangsa dandanan kuningan utawa tembaga, tenunan kapas lan sutra, welirang, gading, cula warak, kayu warna warna, manuk jakatuwa lan barang nam naman. Ing Tanah Jawa ing wektu iku akèh palabuhan ramé, kayata: Tuban, Sedayu; Canggu. Nalika jamané ratu iki ing bawah karaton Majapait kena dibasakaké ungsum kraman. Para satriya kang mèlu lara lapa dhèk jamané Radèn Wijaya saiki ora oleh ati, awit Sang Prabu mung anggega aturing nayakané kang aran Mahapati, wasana para satriya mau banjur genti genti padha ngraman, nanging temahan asor jurite. Ing tahun 1328 Sang Prabu séda, dicidra ing dukun kang didhawuhi ambedhel salirané. Sasédané Prabu Jayanégara kang gumanti sadhèrèké putri, kang sesilih Bhreng Kauripan banjur jejuluk Jayawisynuwardhani. Sang nata dewi krama oleh satriya, kekasih Kartawardhana, misuwur pinter, sregep lan jejeg penggalihé. Sang Pangéran diangkat dadi panggedhéning jaksa lan oleh lungguh bumi Singasari sawewengkoné. Gajahmada dadi warangkaning ratu. Karepe Gajahmada arep nungkulaké satanah Jawa kabèh lan pulo pulo sakiwatengené. Ora let suwé yaiku tahun 1334 Sumbawa lan Bali bedhah banjur kabawah marang Majapait, mangka Bali nalika samana Sénapatining prajurit kang ngelar jajahan ing sajabaning Jawa aran Nala. Ing tahun 1334 Sang Raja putri mbabar miyos kakung diparabi Ayam Wuruk, kang banjur dijumenengaké Nata, nanging isih diembani kang ibu nganti tekan tahun 1350. |
Babad Tanah Jawi
|
08 Pérangan Kang Kapisan
Bab 8 Ayam Wuruk, Syri Rajasanagara, Ratu kang kaping IV ing Majapait (tahun 1350 - 1389) |
Awit saking gedhéné lelabuhané Patih Gajahmada, nagara Majapait saya suwé saya misuwur kuwasané.
Prabu Ayam Wuruk tetep jumeneng ratu agung binathara ngerèh sapepadhaning ratu. Sang Nata krama oleh nakdhèrèke piyambak kang wewangi Retna Susumnadewi. Ing jaman iku ana pujangga kraton aran "Prapanca" (Budha). Ing tahun 1365 pujangga iki nganggit layang kang aran Nagarakertagama. Ana manèh pujangga aran Empu Tantular nganggit layang Arjunawiwaha. Majapait ing wektu iku emèh mbawahaké satanah Indhiya Wétan kabèh, kayata: Tanah Jawa Wétan lan Tengah, Sumatra, wiwit Lampung tekan Acih (Perlak), Bornéo (Banjarmasin), Sélebes (Banggawai, Salaiya, Bantaiyan), Florès (Larantuka), Sumbawa (Dompo), saparoning Malaka lan sabageyaning Nieuw Guinéa. Tanah Sundha ora ditelukaké. Kang jumeneng ratu ana ing tanah Sundha mau ajejuluk Prabu Wangi, putrané putri dilamar Prabu Ayam Wuruk iya dicaosaké, ananging Prabu Wangi banjur pasulayan karo Patih Gajahmada, nganti dadi perang. Prabu Wangi séda ing paprangan lan akèh punggawané kang mati ana paprangan; ewadéné tanah Sundha ora dibawah Majapait, isih madeg dhéwé ing saterusé. Ing Jaman samono paro ajar utawa pandhita (agama Budha utawa Syiwah) mèlu nindakaké paprentahan nagara, mulané padha diparingi lungguh bumi dhéwé dhéwé kang diarani bumi: Pradikan. Padésan ing sakubenging candhi utawa padhépokaning para pandhita lumrahè uga dadi bumi pradikan, wongé diwajibaké jaga lan ngopèni candhi padhépokan mau. Kawula liyané padha kena pajeg prapuluhan (saprapuluhing pametuning buminé), lan kena ing pagawéyan gugur gunung lan sapepadhané. Pajeg rajakaya, pajeg panggaotan lan tambangan ing wektu samono iya Pametoning praja gedhé banget, perlu kanggo ragad perang lan kanggo kapraboning Sang Nata sarta kanggo yeyasan nagara, kayata: kraton, gedhong gedhong, pasanggrahan pasanggrahan lan liya liyané. Ing nagara Majapait wis akèh omah kang becik becik, payoné sirap, déné omah kang lumrah padha apager gedhég, ananging ing jero racaké ana pethiné watu kang santosa perlu kanggo nyimpen barangé kang pangaji. Wong wong dhèk jaman samono padha doyan nginang, senengané padha tuku bala pecah saka juragan Cina, pambayare nganggo dhuwit sing diarani Kèpèng. Wong lanang padha ngoré rambut, wong wadon gelungan kondhé. Wiwit enom wong wong padha nganggo gegaman keris, lan gegaman iku kerep diempakaké. Wong yèn mati jisime diobong, yèn sing mati iku bangsa luhur utawa wong sugih bojo bojoné (randha randhané) padha mèlu obong. Ora adoh saka nagara ana papan kanggo adu adu kéwan utawa uwong utawa kanggo karaméyan liya liyané. Papan iku arané "Bubat" Sang Nata kerep lelana tinggal nagara, ing Blambangan sauruté iya tau dirawuhi. Prakara perdagangan iya dadi gedhé banget, awit saka majuning lelayaran kagawa saka kèhing nagara nagara kang kabawah ing Majapait sing kelet letan sagara. Bab kagunan, kayata: ngukir ukir sapepadhané, kombule ing Tanah Jawa Wétan dhèk pungkasané abad kang katelulas, lan ing wiwitané abad kang pat belas, mung baé panggawéné reca reca kang apik apik iku nganggo tuntunaning wong Indhu utawa nurun kagunan Indhu. Cekaking carita: Nalika panjenengané Prabu Ayam Wuruk iku, Majapait lagi unggul unggule, samubarang lagi sarwa onjo. Prabu Ayam Wuruk tilar putra kakung miyos saka selir asma "Bhre Wirabhumi" jumeneng Nata ana ing bagéyan kang wétan. Déné kang nggentèni keprabon Majapait putra mantuné Sang Nata, ajejuluk Wikramawardhana (tahun 1389 - 1400). Ing tahun 1400 Sang Prabu sèlèh keprabon, kersané arep mandhita, ananging sapengkeré Sang nata, putra lan sentanané padha rebutan nggentèni keprabon. Prabu Wikramawardhana banjur kapeksa kundur jumeneng ratu manèh nganti tekan tahun 1428. Sajroning jumeneng sing kèri iki Sang Prabu nerusaké merangi santanané kang wus kabanjur ngraman nalika Sang Prabu jengkar saka kraton. Rèhning perang iki nganti suwé dadi nganakaké kapitunan akèh lan karusakan gedhé, awit teluk telukan ing tanah sabrang banjur padha wani mbangkang wus ora gelem kabawah Majapait. Tataning kawula iya banjur rusak. Prakara patèn pinatèn Akèh wong main lan adu jago totohané gedhéni. Ing tahun 1428 - 1447 kang jumeneng nata ratu putri jejuluk Retna Dewi Suhita, putrané Prabu Wikramawardhana saka garwa paminggir. Terusé banjur banjur Prabu Kertawijaya (1447 - 1452) lan manèh Prabu Bhra Hiyang Purwawisyesa (1456 - 1466), Pandan Salas (1446 - 1468), banjur Prabu Bhrawijaya V (1468 - 1478). Mungguh babade ratu ratu kang wekasan iki ora terang, mulané ora disebutaké. Ana ratu ing nagara Keling (salor wétané Kedhiri, sakidul kuloné Bedhahè Majapait iku kuthané ora dirusak, awit ing tahun 1521 lan 1541 nagara Majapait isih kecrita kutha kang gedhé. Suwé suwé kutha Majapait dadi rusak, awit wong wongé kang ora seneng kaerèh ing kraton liya, padha genti genti ninggal negarané, nglèrèg marang tanah Saiki Majapait mung kari patilasan baé, awujud pager bata tilas mubeng lan tilas gapura (Candhi Tikus, Bajang Ratu). Isih sajroning jaman Majapait, agama Islam Mungguh kaananing tanah Sundha ing wektu iku ora pati kasumurupan. Sawisé krajan Tarumanagara dhèk abad 4 lan 5, mung ana kang kacarita krajan Sundha ing tahun 1030 nagarané kira kira ing Cibadhak. Enggoné ora ana wong manca kang mlebu mrono, marga saka kèhing bajag kang padha nganggu gawé ing sauruting pasisir. Ing Priyangan sisih wétan ana krajané aran Galuh, kang ngadegaké ayaké ratu aran Pusaka, ratu liyané jejuluk Wastukencana lan Prabu Wang(g)i. ing tahun 1433 Sang Ratu Dewa iya Raja Purana, ngadegaké kutha anyar aran Pakuan (Batutulis). Karajan iki aran Pajajaran. Tulisan kang ana ing watu kono nerangaké manawa Sang Prabu yasa segaran. Pajajaran semuné krajan rada gedhé lan ngerèhaké |
Babad Tanah Jawi
|
Pérangan Kang Kaping Pindho Babad Tanah Jawa Wiwit Adegé Karajan Karajan Islam lan Tekané Bangsa Europa tumekané Gempale Karajan Mataram lan Ambruké Vereenig de Oost indische Compagenie (VOC) tahun 1500 - 1799 |
09 Pérangan Kang Kaping Pindho
Bab 1 Karajan Demak lan Karajan Pajang +/- tahun 1500 - 1582 |
Wiwitané ing Tanah Jawa ana agama Islam ing antarané tahun 1400 - 1425.
Ing tahun 1292 ing tanah Perlak ing pulo Sumatra Tekané padha saka Kang mencaraké agama Islam ing Tanah Jawa dhisike yaiku sudagar Jawa saka Tuban lan Gresik, kang padha dedagangan ing Malaka, padha sinau agama Islam, dadiné Islam terkadhang sok kepeksa. Sudagar sudagar jawa mau padha bali marang Tanah Jawa Wétan, sudagar Indhu lan Pèrsi uga ana sing teka ing kono lan nuli mencaraké agama Islam marang wong wong. Sing misuwur yaiku: Maulana Malik Ibrahim (wong Persi?), séda ana ing Gresik ing tahun 1419, nganti saiki pasareané isih. Bareng kuwasané karaton Majapait saya suwé saya suda, para bupati ing pasisir rumangsa gedhé panguwasané, wani nglakoni sakarep karep. Para bupati mau lumrahè Jalaran saka iku kerep baé perang karo para raja agama Indhu kang manggon ing tengahing Tanah Jawa. Miturut carita: Sang Prabu Kertawijaya ing Majapait iku Putri mau kapernah ibu alit karo Radèn Rahmat utawa Sunan Ngampel (sacedhaké Sunan Ngampel kagungan putra kakung siji, asma Sunan Bonang, lan putra putri siji, asma Nyai Gedhé Malaka. Nyai Gedhé Malaka iku marasepuhé Radèn Patah utawa Panémbahan Jimbun, yaiku kang sinebut: Sultan Demak kang kapisan. Sunan Ngampel lan Sunan Bonang iku dadi panunggalané para wali. Para wali mau kang misuwur: Sunan Giri (sakidul Gresik), ana ing kono yasa kedhaton lan mesjid; Ki Pandan Arang (ing Ing tahun 1458 ing Demak Padha padha bupati ing pasisir pati Unus iku kang kuwasa dhéwé. Pati Unus uga kasebut Pangéran Sabrang Lor. Iku putrané Radèn Patah utawa Panémbahan Jimbun. Ing tahun 1511 Pati Unus mbedhah Jepara, Ing tahun 1513 nglurugi Malaka. Enggoné tata tata arep nglurug mau nganti pitung tahun lawasé. Lan bisa nglumpukaké prau kèhé nganti sangang puluh lan prajurit 12.000, apadéné mriyem pirang pirang. Nanging panémpuhé bangsa Portegis ing Malaka nggegirisi, nganti Pati Unus kapeksa bali lan ora oleh gawé. Pati Unus ing tahun 1518 uga ngalahaké Majapait nanging Majapait dhèk samana pancèn Ing tahun 1521 Pati Unus séda isih enèm lan ora tinggal putra. Kang gumanti rayi let siji yaiku Radèn Trenggana, jalaran rayiné tumuli: Pangéran Sekar Séda Lèpèn, Sajroning jumenengé Sultan Trenggana (tahun 1521 - 1550) karaton Demak kuwasa banget, nguwasani Tanah Jawa Kulon, ngerèh kutha kutha ing pasisir lor lan uga mbawahaké jajahan Majapait, sarta karaton Supit Urang (Tumapel) uga banjur kapréntah ing Demak. Déné Blambangan iku bawah Pelabuhan bawah Demak akèh sing ramé, kayata: Jepara, Tuban, Gresik lan Jaratan. Gresik lan Jaratan iku sing ramé dhéwé, wong kang manggon ing kono luwih 23.000. Ing tahun 1546 Sunan Gunung Jati kalawan Sultan Trenggana arep mbedhah Pasuruwan. Kutha Pasuruwan banjur kinepung ing wadya bala, nanging durung nganti bedhah, pangepungé diwurungaké, jalaran Sultan Trenggana séda cinidra déning sawijining punakawan santana, kang mentas didukani. Putrané Sultan Trenggana akèh. Putra putriné padha krama oleh priyayi gedhé gedhé. Ana sing krama oleh bupati ing Pajang, kang asma: Adiwijaya, yaiku Mas Krèbèt, Ki Jaka Tingkir utawa Panji Mas. Putrané Sultan Trenggana loro: Pangéran Mukmin utawa Sunan Prawata, lan Pangéran Timur, kang ing besuké dadi adipati ing Madura. Sunan Prawata iku kang nyedani Pangéran Sekar Séda Lèpèn. Ing semu putrané Pangéran Sekar Séda Lèpèn kang asma Arya Panangsang arep malesaké sédané kang rama. Sakawit Arya Panangsang nyedani Pangéran Mukmin sagarwané, nuli putra mantuné Sultan Trenggana, ora oleh gawé, malah Arya Panangsang bareng dipapagaké perang, kalah nemahi pati. Adiwijaya banjur nguwasani Tanah Jawa: amboyong pusaka kraton menyang Pajang lan nuli dijumenengaké Sultan déning Sunan Giri. Nalika Adiwijaya jumeneng ratu ana ing Pajang, blambangan lan Panarukan kabawah ratu agama Syiwah ing Blambangan, kang uga mbawahaké Bali lan Jajahan jajahan ing Pajang kapréntah ing pangéran (adipati) yaiku: Ana ing tanah Pasundhan karaton Pajang mèh ora duwè panguwasa, jalaran ing tahun +/- 1568 tanah Banten dimerdikakaké déning Hasanuddin, dadi tanah kasultanan. |
Babad Tanah Jawi
|
10 Pérangan Kang Kaping Pindho
Bab 2 Karajan Mataram Nalika Jumenengé Sénapati (tahun 1582 - 1601) |
Ana wong linuwih sinebut Kyai Gedhé Pamanahan, asalé mung wong lumrah baé.
Jalaran saka akèh lelabuhané marang Sultan Pajang, banjur didadèkaké patinggi ing Mataram. Nalika iku tanah Mataram durung reja lan Pasar Gedhé, padunungané Kyai Pamanahan mau isih awujud désa. Putrané Kyai Gedhé Pamanahan kang asma Sutawijaya utawa Radèn Bagus, utawa Pangéran Ngabèhi Loring Pasar iku dipundhut putra angkat déning Sultan Pajang lan nganti diwasa tansah ana ing kraton , dadi mitrané Pangéran Pati yaiku Pangéran Banawa. Ing tahun 1575 Sutawijaya gumanti kang rama ana ing Mataram, oleh jejuluk Sénapati Ing Ngalaga Sahidin Panatagama. Panémbahan Sénapati (Sutawijaya) mau banget ing pangarahé supaya bisa jumeneng ratu. Ing sasi Mulud ora ngadhep marang Pajang, lan Pasar Gedhé didadèkaké bètèng, ndadèkaké kuwatiré Sultan Adiwijaya. Kelakon ora suwé banjur peperangan, Adiwijaya kalah lan ing tahun 1582 séda jalaran karacun. Pangéran Banawa ora wani nglawan Sénapati. Sénapati banjur ngaku jumeneng Sultan, sarta pusakaning kraton kaelih marang Mataram. Sénapati ngerèhaké Mataram ing tahun 1586 - 1601. Jajahan jajahan karaton Pajang kang Sénapati kepeksa kudu kerep perang, kayata: perang karo Panaraga, Madiyun, Pasuruwan lan luwih luwih karo Blambangan. Ewadéné Blambangan iku ora bisa kalah babar pisan. Karo Sénapati memitran. Banten arep ditelukaké, nanging ora bisa kalakon. Galuh pineksa karèh Mataram. Ing nalika iku akèh kutha kutha pelabuhan kang ramé, padha ditekani wong Portegis, ora lawas wong Walanda iya padha nekani ing kono. Dedagangané mrica, pala, cengkèh, kapas lan barang barang liyané akèh, nanging bab kawruh lan kagunan ora pati diperduli. Ing tahun 1601 Sénapati séda, kang gumanti putra Mas Jolang. Pasaréyan Sénapati nunggal kang rama ana ing Pasar Gedhé sarta padha pinundi pundhi. |
Babad Tanah Jawi
|
11 Pérangan Kang Kaping Pindho
Bab 3 Karajan Banten lan Sunan Gunung Jati (+/- tahun 1527) tumeka Sédané maulana Mohamad (tahun 1596) |
Ing wiwitané abad kang ping 16 ing Tanah Jawa Kulon ana nagara aran Pajajaran, Kutha aran Pakuan. Kutha pelabuhan iya duwè, yaiku Banten lan Sundha Kalapa, nanging dedagangané durung ramé.
Awit saka Malaka ing tahun 1511 kacekel ing bangsa Portegis, para sudagar Islam padha dedagangan ana ing pasisiré lor Tanah Jawa Kulon. Ing Banten nuli ana pedagangan gedhé, dagangané mrica. Ing nalika iku ana wong Paséi ( Wong Paséi mau ing tembéné aran Sunan Gunung Jati, mauné bok menawa aran Falètèhan. Iku ipéné Radèn Trenggana. Marga saka pitulungané Radèn Trenggana ing tahun 1527 bisa mbedhah Sundha Kalapa (Jayakarta utawa Ing tahun 1552 Sunan Gunung Jati ing Banten digentèni kang putra Hasanuddin. Déné putra liyané kang asma Pangéran Pasaréan, iku kang nurunaké para Sultan ing Falètèhan séda ing tahun 1570 ana ing Kutha Pakuan bedhahè sawisé tahun 1570. Nalika Falètèhan séda kang jumeneng Sultan ing Cirebon Panémbahan Batu, yaiku buyute Falètèhan mau. Hasanuddin iku krama oleh putriné Pangéran Trenggana. Bareng Pangéran Trenggana séda, karaton Banten banjur madeg dhéwé (tahun 1568). Hasanuddin uga nelukaké Lampung, sarta raja Indrapura ngaturaké putrané putri minangka garwa. Kutha Banten dadi ramé lan pelabuhané gedhé. Ananging kutha urut pasisir ana 750 M, déné ujuré marang dharatan +/- 1600 M. Prau prau bisa lumebu ing kutha metu ing kali kang nrajang kutha mau; saiki kaliné wis waled, jalaran wedhi. Kutha mau kang sasisih dipageri lan ana gerdhu gerdhuné panggonan prajurit jaga tuwin panggonan mriyem. Hasanuddin séda ing tahun 1570, banjur kasarèkaké ing Sabakingking. Kang gumanti kaprabon Pangéran Yusup. Nalika iku wong Banten yèn nandur pari lumrahè ana ing pategalan (ladhang). Sawisé dienèni pariné banjur ora ditanduri manèh, wong wongé banjur golèk panggonan liya digawé ladhang, yèn wus panèn iya diberakaké manèh, enggoné nanduri iya kaya kang Sing kaya mangkono iku tumraping lemahé mesthi baé ora becik. Bareng Pangéran Yusup jumeneng Sultan, wong wong padha didhawuhi sesawah. Jalaran saka iku wong tani iya kapeksa milih panggonan sing tetep, ora pijer ngolah ngalih, iku njalari anané désa désa. Pangéran Yusup uga dhawuh yasa bendungan lan susukan susukan perlu kanggo ngelebi sawah. Sing mbedhah kutha Pakuan iku iya Pangéran Yusup. Ratu ing Pakuan séda, para luhur ing kono kapeksa mlebu Islam. Sawènèh ana sing ngungsi marang pagunungan ing Banten Kidul; wong Beduwi iku turuné wong wong sing padha ngungsi mau. Pangéran Yusup lumrahè karan Pangéran Pasaréyan (tunggal jeneng karo kang paman ing Ing sasédané Pangéran Yusup, Pangéran Jepara utawa Pangéran Arya anjaluk jumeneng Sultan, nanging ora bisa kelakon, jalaran saka setyané Mangkubumi (Patih) ing Banten marang Pangéran Yusup. Kang gumanti Pangéran Yusup, putra kang sisilih Maulana Mohamad. Nalika iku yuswané lagi 9 tahun, mulané nganggo diembani ing Mangkubumi. Sing maréntah kutha Iku mau kabèh dumunung ing pusering kutha. Dagangané ora pati ramé kaya ing Banten. Tanah tanah sakubengé kutha isih kebak buron alas. Sultan Watesé kang wétan Banyumas, kang kulon Cimanuk (Citarum),. Bareng sepuhé, Pangéran Mohamad ditresnani ing kawula, jalaran saka mursid lan wasis. Sang papatih Jayanagara banget setya marang ratuné. Nalika iku Sultan Mohamad diaturi nglurugi Palembang déning Pangéran Mas, wayahè Sunan Prawata, Sandyan patihé malangi, nanging Sultan Mohamad ngrujuki; kalakon ing tahun 1596 Palembang dilurugi. Wadyabala ing Banten Sédané mau digawé wadi, mung wadyabala diundangi bali marang Banten. Bareng layon arep disarèkaké, ing kono wong wong lagi ngerti yèn Sultan séda, lan ing wektu iku uga Pangéran Abulmafachir dijumenengaké Sultan, nanging yuswané lagi sawatara sasi, mulané pamaréntahing nagara kacekel ing Mangkubumi, manèh dibantoni ing Nyai Emban Rangkung, kang jalaran saka wicaksanané karan: Ratu Putri Ing Banten. Ing pungkasané abad kang ping 16 Banten iku dadi kutha pedagangan kang ramé dhéwé ing saTanah Jawa. Wong manca kang ana ing kono: wong Persi, wong Indhu saka Gujarat, wong Turki, Arab, Portegis, Melayu lan wong Keling. Wong wong ngamanca mau lumrahè ngingu batur tukon lan juru basa. Luwih luwih wong Cina, ing Banten akèh banget. Bangsa Cina manggoné ana sajabaning temboking kutha, lan omahè apik apik. Panggaotané wong manca padha kulak mrica. Sing nganakaké dhuwit timbel (kètèng, gobang) ing Banten iya wong wong ngamanca mau. Dhuwit timbel 1.00 pengajiné +/- 20 sèn. Pangan ing Banten murah banget, dhuwit 20 sèn baé tumraping wong ngamanca, Dalan dalan padha kurugan ing wedhi, omah omahè isih gedhég, mung senthongé pasimpenan Para priyayi padha duwè pakarangan isi wit krambil, sangarepé omah ana pendhapané lan ing pojoking latar sok ana langgaré. Kejaba mesjid gedhé lan pamulangan, ing Banten mung ana omah gedhong siji, yaiku omahè Syahbandar. Kajaba para luhur, wong kang ngibadah ing Banten ora akèh. Para luhur padha ngagem sarung sutra, (terkadhang sinulam ing benang emas) serban lan keris, kenakané diingu dawa, wajané dipasahi lan tinrètès ing mas utawa disisigi. Ngagemé sepatu utawa selop mung yèn ana ing dalemé baé. Pandèrèké ana sing ngampil wadhah kinang, kendhi, payung, lampit lan tumbak. Ing mangsa perang para prajurit olèh keré, sandhangan lan pangan. Ing Banten sing nyambut gawé temenan mung para batur tukon, wong cilik liyané mèh ora nyambut gawé, mulané padha ora kacukupan. Yèn ana wong ora bisa mbayar utangé, iku banjur dadi batur tukon saanak bojoné. Wong kemalingan ing Banten akèh; maling kang kacekel, kena nuli dipatèni. Wong kang dosa pati, kena nebus dosané sarana mbayar dhendha marang Sultané. Yèn ana wong lanang mati, Sultan wenang mundhut anak bojoné wong mau. Jalaran saka iku akèh wong isih kenomen padha omah omah. Kuwasané Sultan Banten gedhé banget, nanging prakara nagara lumrahè dirembug karo para luhur; pangrembugé wayah bengi ana ing alun alun. Ing jaman samana kaanané kutha kutha ing Tanah Jawa kurang luwih iya mèmper karo kutha Banten iku. Prauné Vasco de Gama |
Babad Tanah Jawi
|
12 Pérangan Kang Kaping Pindho
Bab 4 Wong Portegis lan Sepanyol (tahun 1513) |
Wiwit jaman Rum mula wong Asia iku
Dagangan mau saka kono banjur dikirimaké menyang kutha kutha pelabuhan ing sapinggire Sagara Tengah, kayata: Rum, Vénétie lan Genua; banjur disebaraké ing nagara liya ing Europa. Lakuné kafilah saka Hindustan ngrekasa banget, jalaran ana ing dalan kesuwèn, mangka kerep diadhang ing bégal. Marga saka iku pametuné tanah Asia ana ing Europa dadi larang banget, samono uga bumbon saka kapulowan Moloko.Bareng wong Turki mèlu mèlu gawé kasusahaning kafilah mau, bangsa bangsa Europa liyané banjur arep mbudi akal bisané oleh dagangan saka tanah Asia dhéwé ora nganggo metu dharatan, dadi arep ngambah sagara baé. Nalika abad kang kaping 15 ing tanah Europa wus ana bangsa kang kendel banget lelayaran, yaiku bangsa Portegis. Bangsa iku enggoné lelayaran saya suwé saya mangidul, nganti nemu pulo lan tanah pirang pirang enggon, wasana pasisiré tanah Afrika kang sisih lor kulon wus kawruhan kabèh. Ing tahun 1486 ana nakoda bangsa Portegis aran Bartholomeus Dias, bisa tekan ing pongole buwana Afrika kang sisih kidul dhéwé. Ing Tahun 1498 kelakon ana nakoda Portegis aran Vasco de Gama tekan ing Kalikut kutha ing tanah Indhu. Wong Portegis nuli miwiti lelawanan dedagangan lan wong Indhu, lan nenelukaké kutha pelabuhan kang ramé ramé ing tanah Indhu kono. d'Albuquerque kang wus katetepaké jumeneng Prabu anom ing Asia nuli ngumpulaké prau perang kanggo merangi kutha kutha pelabuhan; Iya jamané d'Alburquerque (tahun 1509 - 1515), iku mumbul mumbule wong Portegis nguwasani tanah tanah pasisir ing Samodra Indhiya tekan Bareng wong Portegis Lakuné nganggo mampir mampir, kayata: menyang Gresik. Ing wektu samono Gresik Wong Portegis mau ana ing Tanah Jawa Tengah lan Wétan sasat tansah dimungsuh baé, mung ana ing Panarukan bisa mimitran lan wong bumi, jalaran wong ing kono isih mardika, durung Islam lan durung kaerèh marang Demak. Rèhné wong Portegis ana ing Tanah Jawa Tengah lan Wétan tansah ngrekasa banget, mulané banjur ana kang nyoba arep lelawanan dedagangan lan Banten. Ing sakawit ana ing Banten ditampani becik, nanging nuli wong Portegis lan wong Banten kerep cecongkrahan, jalaran padha déné ora percayané. Wasana enggoné dedagangan wong Portegis kang dipeng ana ing Moloko lan pulo Timur. Nalika wong Portegis teka ana ing tanah Indhiya kang anggedhéni laku dagang ing kepulowan Moloko bangsa Jawa, nanging bareng Malaka bedhah, wong Jawa kadhesuk soko kono lan saka kapulowan Moloko, banjur karingkes pasabané, kang anggedhéni genti wong Portegis, malah ing tahun 1522 ing Ternate wis didegi bètèng, sarta wong Portegis wis prajangjian lelawanan dedagangan ijèn ijènan (monopolie) lan Sultan ing kono. Ing tembéné kang dadi dhok dhokané wong Portegis ing Ana ing pulo pulo Moloko lan ing pulo pulo Sundha Cilik sisih wétan wong Portegis padha mencaraké agama Kristen. Bareng wong Portegis nemu dalané menyang tanah Indhiya, wong Sepanyol iya banjur arep nyoba uga menyang tanah Indhiya dhéwé. Wong Genua aran Christophorus Saka panémuné Chr. Columbus wus tetéla yèn jagad iku bunder kepleng, dadi yèn saka Sepanyol terus layar mangulon mesthi banjur tekan ing jagad sisih wétan yaiku enggoné tanah Indhiya. Yèn saka Indhiya diterusaké mangulon baé, mesthi banjur bali tekan ing Sepanyol manèh. Ing tahun 1492 kelakon Chr. Columbus nemu kepulowan kang diarani kapulowan Indhiya, jalaran pametuné akèh emperé lan tanah Indhiya, nanging ora antara suwé tetéla yèn kepulowan mau dudu Indhiya, mulané mung banjur diarani kepulowan Indhiya Kulon. Mungguh satemené kepulowan Indhiya Kulon iku wewengkoné buwana Amerika. Saking kepenginé marang kauntungan lan misuwuring jeneng, banjur akèh baé wong Sepanyol kang napak dalané Chr. Columbus padha layar mangulon ketug ing Amerika. Sawisé buwana Amerika kawruhan, nuli ana wong Portegis kang aran Magelhaen kang nedya menyang Indhiya metu Amerika atas asmané ratu Sepanyol. Mangkaté Magelhaen sakancané wong Sepanyol ing tahun 1519 lakuné nurut pasisiré Amerika sisih kidul, njedul supitan ing saantarané pongol Amerika kang kidul dhéwé lan pulo Vuurland, saka kono terus ngalor ngulon nrajang Samodra gedhé, anjog ing kapulowan Filipina. Wong Sepanyol nuli layar menyang Moloko, anjog ing Tidore. Sultan Tidore bungah banget, awit bakal olèh lengganan bangsa Europa, mangka nalika d'Abreu teka ing Sarèhné wong Sepanyol, kancané Magelhaen, kalah santosa karo wong Portegis, mulané bareng dimungsuh, banjur kapeksa mlayu menyang Jilolo, saka kono terus layar mangulon, nutugaké enggoné ngubengi bumi, tekané ing Sepanyol manèh tahun 1522. Iya wong Sepanyol kang dipanggedhéni Magelhaen iku kang ngubengi bumi sapisan. Wong Portegis bareng sumurup ana wong Sepanyol teka, banget panasé, ngudi, lungané wong Sepanyol saka tanah Indhiya, dadi bangsa loro mau padha memungsuhan. Nanging ing tahun 1529 padha bedhami, jalaran watesing jajahan dipastèkaké déning Kangjeng Paus. Wiwit tahun 1542 bangsa Sepanyol neluk nelukaké pulo pulo Filipina. Jeneng Filipina iku kapirit asmané ratu ing Sepanyol (Filips II). Lan ana ing pulo pulo mau banjur padha mencaraké agama Kristen. |
Babad Tanah Jawi
|
13 Pérangan Kang Kaping Pindho
Bab 5 Tekané Wong Walanda ( tahun 1596) |
Ing abad kang kaping 15 ing nagara Walanda bab misaya iwak maju banget ( iwak haring). Iwaké didol sumrambah ing tanah Europa.
Jalaran saka iku lelayarané prau prau momot barang dadi ramé. Prau prau momotan mau kejaba momot iwak, uga nggawa barang barang liyané, kayata: mertega, kèju lan laken saka Soko Portegal wong Walanda kulak anggur lan uyah; saka tanah tanah sapinggire Sagara Wétan gandum lan kayu, lan saka Inggris wulu wedhus. Awit saka iku kabèh lelayarané prau prau momotan ing satanah Europa kacekel ing tangané bangsa Walanda. Ing wiwitané abad kang ping 16 Kutha Lissabon dadi pusering padagangan kang saka ing tanah Indhiya. Kang mencaraké dagangan mau menyang tanah tanah liyané sapérangan gedhé iya bangsa Walanda. Iku kabèh njalari wong Walanda banjur dadi sugih, wong kang mauné mung ngepalani prau prau momotan, banjur dadi nakoda utawa sudagar. Ing pungkasané abad 16 wong Walanda banget pangudiné marang ada ada anyar lan banget kepenginé marang lelakon lelakon kang durung tau dilakoni, luwih luwih bareng krungu critané lelayaran marang Indhiya saka wong wong Walanda kang mauné manggon ing Portegal. Apa manèh ing nalika iku akèh sudagar sudagar saka Nederland Kidul (Antwerpen) padha ngalih mangalor. Kuwasané karajan Sepanyol tansah suda, perang karo bangsa Walanda lan Inggris kerep kalah. Dedagangan ing Lissabon tumrapé bangsa Walanda banjur diengèl engèl amarga wiwit ing tahun 1580 Lissabon kebawah Sepanyol. Jalaran saka sebab sebab ing ndhuwur mau kabèh, bangsa Walanda kenceng tekadé arep lelayaran menyang tanah Indhiya dhéwé, bathiné mesthi bakal luwih akèh, awit bisa kulak dedagangan saka ing panggonané asal. Wiwitané nyoba lelayaran metu lor ngubengi buwana Sarèhné layar metu lor iku terang yèn rekasa banget, istingarah ora bisa kelakon tekan tanah Indhiya, nuli wong Walanda arep nékad metu kidul nurut pesisire buwana Afrika kaya wong Portegis. Cacahing prau kang arep mangkat ana 4, kang ngepalani aran Cornelis de Houtman iku Déné kang dadi lelurahing jurumudhi wong pinter ing ngèlmu bumi aran Pieter Keyzer. Ing tanggal 2 April tahun 1595 padha mancal saka dharatan, lakuné ana ing dalan ngrekasa banget, nanging tanggal 23 Juni 1596 kelakon tumeka ing Banten. Satekané ing palabuhan Banten prauné wong Walanda dirubung ing prau cilik cilik padha nawakaké wowohan lan dodolan warna warna. Ora suwé ing dhèk kebak wong Jawa, Arab, Cina, Keling lan Turki padha nawakaké dedagangan. Wong Walanda medhun menyang dharatan; ing kono Sawusé tekan dharatan banjur dodolan lan kulak dedagangan kang diimpi impi, yaiku mrica. Nanging bareng padha rerembugan banjur padha pasulayan. Wong Portegis weruh kang mangkono iku nuli ngréka daya supaya wong Walanda disengiti ing wong Banten. Apamanèh Cornelis de Houtman iku wani kasar karo Mangkubumi ing Banten, lan sarèhning wong Banten kuwatir bok manawa kutha Banten bakal ditibani mimis saka ing prauné wong Walanda, Cornelis de Houtman sakancané 8 dicekel lan dilebokaké ing kunjara. Cornelis de Houtman lan kancané 8 pisan mau iya nuli luwar, nanging sarana ditebus. Bareng wong Portegis mbabangus manèh marang wong Banten, wong Walanda banjur ninggal Banten, awit uga weruh yèn ora bakal bisa oleh dedagangan ana ing kono. Wong Walanda banjur layar mangétan urut pasisir loring Tanah Jawa nganti tekan Saka kono banjur bali menyang nagara Walanda urut pasisiré Tanah Jawa kang sisih kidul. Tekané ing nagara Walanda prauné kang mauné papat mung kari telu, wong kang mauné 248 mung kari 89. Lan barang dagangan sing digawa apadéné bathiné mung sathithik banget. Nanging sedyané kang gedhé iku Nalika tahun 1598 ana prau Walanda manèh teka ing Banten, kang manggedhéni Yacob van Neck. Sarèhné van Neck mau wong kang alus bebudèné ora kasar kaya de Houtman, dadi wong Walanda ditampani kalawan becik, dipèk atiné kenaa dijaluki tulung yèn ana nepsuné wong Portegis, malah van Neck oleh palilah katemu lan sang timur Abulmafachir ratu ing Banten lan van Neck ngaturi tinggalan tuwung mas. Wong Walanda enggal baé oleh dedagangan mrica akèh. Wiwit ing nalika iku akèh prau prau Walanda kang teka ing Moloko kulak mrica, pala lan cengkèh. Dhok dhokané prau kang menyang tanah Indhiya iku ing Banten, dalasan prau kang saka ing Moloko, sanadyan wus kebak dagangan, kang mesthi iya nganggo mampir. Suwé suwé pelabuhan ing Banten saya ramé déning prau Walanda kang teka lunga ing kono. Ing wektu iku Sepanyol lan Portegis wiwit ngêdhèng enggoné perang karo bangsa Walanda ing tanah Indhiya. Andreas Furtadho de Mendoca nggawa prau 30 saka Goa layar menyang tanah Indhiya, arep dhedawuh marang para panggedhé ing sakèhing kutha plabuhan nglarangi Ing tahun 1601 ana prau Walanda teka ing supitan Sundha, kang manggedhéni Wolphert Harmens, ana ing dalan Wolpert Harmens wis oleh pawarta yèn Banten dikepung ing balané Furtadho perlu nglungakaké wong Walanda lan meksa marang Pangéran ing Banten ora kena ngayomi sakèhing Walanda. Sandyan prauné Harmens mung lima, nanging nékad nempuh prauné wong Sepanyol. Salungané wong Sepanyol saka ing Banten, Harmens mlebu ing plabuhan munggah menyang kutha. Ora antara suwé ana prau Walanda teka manèh, panggedhéné aran Yacob van Heemskerck enggal baé oleh dedagangan, prauné kang Ana ing Gresik kono Heemskerck sawisé kebak prauné banjur bali menyang nagara Walanda. Ing wektu iku para sudagar Inggris iya Ing tahun 1602 ana prau Inggris teka ing plabuhan Banten nggawa layang lan pisungsung saka ratuné. Wong Inggris ditampani kalawan becik, dadi gampang nggoné golèk dagangan, sarta banjur kaidinan ngedegaké kantor.
Prau - prauné Houtman saka ing tanah Walanda
|
Babad Tanah Jawi
|
14 Pérangan Kang Kaping Pindho
Bab 6 Adegé Vereennidge Oost Indische Compagnie (V.O.C.) ( tahun 1602) |
Prauné wong Walanda kang padha layar menyang tanah Indhiya iku duwèké maskapé maskapé cilik.
Sanadyan kang nduwèni tunggal bangsa lan kabèh padha tulung tulungan yèn ana bebayaning dalan, èwa déné mungguh enggoné dedagangan ora pisan bisa rukun, malah padha jor joran murih bisa oleh dagangan akèh. Bareng paprentahan luhur ing negara Walanda nguningani prakara iku banjur kagungan sumelang. Saka karsané paprentahan luhur maskapé Walanda mau didadèkaké siji aran Vereennidge Oost Indische Compagnie (V.O.C.), yaiku: Pakumpulan dedagangan ing tanah Indhiya Wétan, adegé nalika tanggal 20 Maret 1602. VOC. mau diparingi wewenang dedagangan ing sawétané Kaap de Goede Hoop tekan ing supitan Magelhaens, déné maskapé utawa sudagar liya ora kena mèlu mèlu dedagangan ing kono (monopolie). Wewenang panunggalané ing dhuwur iku: VOC. kena nganakaké prajangjian atas asmaning Staten Generaal karo sakèhing nagara klebu jajahané. Kajaba iku Compagnie kena nganakaké prajurit, gawé bètèng, gawé dhuwit lan netepaké Gouverneur lan punggawa liyané. Sakèhing punggawa kudu sumpah kasusetyané marang Straten Generaal lan pangrehing Compagnie. Ing sabisa bisa VOC, kudu mèlu nglawan mungsuhé nagara Walanda. Pawitané Compagnie iku olèhé adol layang andhil, siji sijiné andhil ora mesthi padha regané, ana kang f10.000 ana kang f50.Déné kang kena tuku andhil mau iya sadhengah wong, ora lawas VOC wus oleh pawitan f6.500.00. Ing sakawit warga pangrèh (Bewindhebber) ing tanah Walanda ana 73, nanging ora lawas mung ditetepaké 60. Para Bewindhebber mau akèh kauntungané, kayata: saben ana prau teka saka tanah Indhiya mesthi oleh bagéyan 1% né ajining momotané prau, mulané pangkat Bewindhebber mau dadi pepénginan. Bewindhebber iku ana 17 kang pinilih kuwajiban nyekel paprentahan Compagnie ing saben dinané. Pangrèhé Compagnie iku aran "Heren XVII, Directeuren utawa Mayores". Saben 10 tahun para Bewindhebber kudu awèh katrangan pelapuran (verslag) bab panyekeling paprentahan marang Straten Generaal lan para aandeelhouder. Prau prauné Compagnie kang dhisik dhéwé mangkat menyang tanah Indhiya dipanggedhéni Van Waerwijck, angkaté ing tahun 1602 uga. Sakèhing lojiné maskapé maskapé lawas banjur didadèkaké lojiné VOC. Loji utawa factorij iku wujud kantor diubengi ing gudhang gudhang lan omahè para punggawa. Mungguh perluné loji mau kanggo tandhon dagangan. Dagangan mau diklumpukaké ngentèni tekané prau prau. Factorij iku terkadhang kinubeng ing bètèng tembok utawa tanggul, nanging kang mangkono iku ora mesthi, awit para ratu bangsa bumi kerep ora marengaké. Kèhing factorij saya wuwuh, nanging terkadhang yèn arep ngadegaké factorij anyar iku nganggo ngesur ngalahaké wong Portegis dhisik, kayata: nalika tahun 1603 ana ing Banten, ora lawas ing Gresik, Johor, Patani, Makasar lan Jepara iya dianani factorij. Factorij ing Patani perluné kanggo lelawanan karo negara Cina, Jepang lan Indhiya Buri, awit dikira ngolèhaké kauntungan akèh, nanging jebul ora. Karo Ceylon lan Aceh Compagnie iya lelawanan dedagangan, nanging sakawit mung sathithik pakolèhé. Dagangan tanah Indhiya kang ngolèhaké kauntungan akèh iya iku bumbu crakèn, mulané VOC. kepéngin banget mengku kapulowan Moloko, kang iku para nakoda padha diwangsit, supaya merlokaké ngudi bisané nekem kepulowan bumbon crakèn mau, yèn ora kena dilusi sarana prajangjian iya kanthi wasésa. Ing saenggon enggon angger Compagnie bisa becik karo ratu bangsa bumi mesthi banjur nganakaké prajangjian bisané lengganan ajeg (monopolie). Pulo Ambon (cengkèh) iku pulo kang dhisik dhéwé dadi duwèking Compagnie. Ora suwé saka kecekelé pulo Marga enggoné menang perang iku, laku dagang bumbu crakèn katekem ing kuwasané Compagnie, sabab ana ing endi endi, angger tanah wus kaayoman mesthi dilarangi lelawanan dedagangan karo bangsa liya kajaba mung karo VOC. dhéwé sarta regané dagangan dipasthi (monopolie). Para aandeelhouderé VOC. ing tahun 1610 didumi bathi 75%, wujud dhuwit utawa pala, kena milih ing sakarepé, nuli diedumi manèh 50%, dadi sataun baé tampané para aandeelhouder gunggung kumpul 132,5% Nanging kauntungan samono iku mungguhing satemené kauntungan ing dalem 8 tahun, awit adegé VOC. wus ana 8 tahun, mangka lagi mbayar anakan sapisan iku. Ing tahun 1611 para aandeelhouder tampa manèh 30%, nanging tumekané tahun 1619 Wong wong padha ora rujuk, yèn pambayaring anakan jag jog ora ajeg kaya mangkono iku, terkadhang akèh banget, terkadhang pirang pirang tahun nyet adhem baé. Mulané sabakdané tahun 1625 pambayare dipranata, ing sabisa bisa diajegaké. Racaké pambayaring anakan marang aandeelhouder mau ing saben tahun 18%. Kajaba panyekeling dhuwit, cacading papréntahané Compagnie, isih ana manèh, yaiku enggoné kukuh ngencengi tindaking monopolie, nganti akèh warga VOC. kang metu saka pakempalan. Ana sajabaning nagara Walanda, Compagnie uga duwè mungsuh kang nyumelangi: 1. Bangsa Inggris, iku ing tahun 1600 Compagnie, sarta ana ing Banten lan Moloko Ing saenggon enggon bangsa Inggris tansah mbudi daya bisané ngesur wong Walanda, mung baé enggoné mungsuh ora wani ngedhèng, awit mundhak ngadekaké gèsrèking préntah Walanda lan Inggris. 2. Ing wektu samono VOC. tansah merangi wong Sepanyol lan Portegis, awit tanah Walanda peperangan lan bangsa loro mau ana ing Europa. VOC. lelawanan dagang karo bangsa Cina sarta Jepang. Ing tahun 1608 ana prau Compagnie loro layar menyang Jepang. Ana ing kono Compagnie diidini dedagangan lan ngadegaké loji. Saka rembugé Frankrijk sarta Inggris, sanadyan Walanda lan Sepanyol ora sida bedhami, nanging ing tahun 1609 meksa lèrèn anggoné perang, padha sèlèh gegaman ing dalem 12 tahun. Prakara tanah Indhiya katemtokaké ing prajangjian, yèn wong Walanda lestari kena ndarbèni jajahan enggoné ngrebut wong Sepanyol sarta Portegis, nanging siji sijining bangsa ora kena dedagangan ana ing jajahan kang wus dijègi ing liyan ing wektu awiting sèlèh gegaman. Mungguh ing atasé tanah Indhiya awiting sèlèh gegaman iku kang mesthi kurang luwih let sataun karo ing Europa, awit tanah Indhiya nganggo ngentèni udhuning dhawuh. Ana ing Indhiya ketara banget, yèn wong Sepanyol ora nganggep bedhami sèlèh gegaman iku; dadi VOC. kepeksa tansah tata tata nyentosani wadyabala lan samekta gegamaning perang. Bangsa Inggris lan Portegis sok dibiyantoni ing wong bumi, merangi marang wong Walanda. VOC. iku enggoné ngregani bumbon crakèn saka kepulowan Moloko murah banget, dagangané wong bumi dhéwé dilarang larang. Tindak kaya mangkono iku ndadèkaké karugiané bangsa bumi, wasana banjur padha dagang colongan lelawanan lan wong Portegis, Inggris utawa Jawa. Compagnie muring banget; kebon kebon pala lan cengkèh akèh kang dibabati minangka paukumaning wong pribumi. Wong Bandha banget muringé, wuwuh wuwuh dibombong wong Inggris. Admiral Verhoeff, utusané VOC. dicidra dipatèni. Wasana ing tahun 1609 pulo Bandha malah banjur kena didadèkaké jajahan VOC. Marga saka pakéwuh warna warna iku VOC. duwè panému yèn pangrèhé kudu kukuh, dikuwasani wong suwiji. Nganti tumekané wektu semono, siji sijining loji ana pangrèhé dhéwé, para pangrèh ora merduli marang pangrèhé loji liyané. Wiwit tanggal 1 September tahun 1609 sakèhing kantor lan èskader (kapal kapal perang) ing tanah Indhiya dikuwasani ing panggedhé suwiji, jenengé Gouverneur Generaal (GG.). Gouverneur Generaal kang kawitan yaiku Pieter Both. GG. mau didhawuhi niti priksa kelakuwan, gawéyan lan uripé para punggawa. GG. iku panyekelé paprentahan nganggo dibiyantu ing punggawa liya, jenengé Raad van Indie. Cacahè warganing Raad van Indie sanga, kang lima tansah dadi kanthining GG., kang papat aran "Lid" mirunggan, padha dadi gouvernour ana ing papan liya, enggoné mèlu parepatan mung yèn ana rembug sing perlu perlu banget. Pamutusing prakara kang perlu perlu GG. kudu njaluk rembugé Raad van Indie; wondéné GG. dadi pangareping parepatan. Yèn parepatan ora bisa mutusi, putusané GG. dhéwé wus kanggep apsah. GG. iku uga dadi sénapatining prajurit Dharatan lan lautan. Pamanggèné Tuwan P. Both ana ing Ing tahun 1613 P. Both bali menyang tanah Walanda nanging ana pasisiré pulo Mauritus prauné Kèrem, P. Both dadi lan tiwasé. G. Reynst jumeneng gumanti GG. kapilih ing para Bewindhebber, ing tahun 1615 digentèni L. Real. Dhèk samono VOC. lagi karépotan awit wong Inggris saya katon enggoné mungsuh VOC. Ana ing Banten panguwasané wong Inggris tansah mundhak. Yan Pieterszoon Coen, Liding Raad van Indie banget sumelangé bok manawa jajahan VOC. bakal direbut ing wong Inggris. Ing tahun 1616 wong Inggris ngejègi pulo Run, jajahané VOC. ing Moloko. Ing nalika iku JP. Coen katetepaké nguwasani sakèhing prakarané VOC. ing Tanah Jawa. Coen enggal tumandang merangi wong Inggris. Kang iku ndadèkaké banget panasé wong Inggris sarta Pangéran Ranamenggala ing Banten. Bareng ing tahun 1618 ana kabar yèn loji ing Jepara dirusak déning kawulané Panémbahan Mataram, lan tetéla banget, wong Inggris, wong Banten lan wong Mataram ayon nedya numpes wong Walanda, JP. Coen nuli ngalih saka Banten menyang Ora lawas JP. Coen ditetepaké dadi Gouverneur Generaal, tahun 1619. Ing tahun iku wong Inggris lan Walanda enggoné memungsuhan padha déné ngedhèng. Kantoré wong Inggris kang adhep adhepan bètèngé wong Walanda ing sapinggire kali Ciliwung iya nuli disentosani. Kapalé wong Walanda siji dibeskup Sir Thomas Dale, panggedhéning èskader Inggris. Coen sandika njaluk baliné, nanging wong Inggris malah mangsuli sugal. Bètèng Inggris enggal ditempuh, nganti kena obong, tahun 1618. Ora antara lawas bètèng Walanda dikepung ing mungsuh. VOC. karépotan banget, marga kekurangan prau lan obat mimis. Wong Jakarta ora ana kang gelem dadi kuliné; malah wong Jakarta nempuh bètèng Walanda, èskader Inggris gedhé ana segara dipethukaké prau Walanda, perangé dèdrèg, wasana kesaput ing wengi. Esuké JP Coen ora wani methukaké prau Inggris manèh; putusaning rembug arep menyang Moloko njaluk bantu lan njupuk obat mimis. JP. Coen weling wanti wanti marang Van den Broecke. Yèn ana kapèpèté kepeksa nungkul, nungkula marang wong Inggris, aja nganti nungkul marang wong Kacarita wong Inggris wus prajangjian lan wong Banten, nedya nempuh bètèng ing Pangéran Jakarta, Wijaya Krama, gela banget, déné ora diajak rembugan ing wong Banten, nuli golèk akal bisané ngrebut bètèng dhéwé. P. van den Broecke disuwuni bojana minangka pratandhaning pamitran. P.v.d. Broecke kanthi punggawa pitu kalebu ing gelar, banjur cinekel lan kinunjara. Van Raay sing nggentèni Van den Broecke dijaluki tebusan, ora mituruti. Wasana wong Inggris lan Van den Broecke dhéwé awèh weruh marang wong Walanda supaya masrahna bètèng. Van Raay kendhak atiné, nedya nungkul, wekasan ana jalaran kang murungaké sedyané Van Raay saandhahané. Wong Banten ora awèh, yèn bètèng Pangéran Jakarta ditungkeb, jajahané kagamblokaké marang Banten. Rèhning wong Banten crah karo wong Inggris, èskader Inggris mundur saka Bètèng Walanda dikepung ing wong Banten. Bareng wong Walanda ngerti yèn bakal bisa uwal saka ing bebaya, banjur tumandang nyentosani bètèng manèh. Bareng Bareng lungané JP. Coen Prajurit kang ngepung bètèng ditempuh bubar, kutha Coen nuli menyang Banten, wong Banten rumangsa ora kuwagang nglawan P. van den Brocke sakancané diulungaké. Sarèhné v. d. Broecke lan van Raay dianggep kaluputan enggoné netepi wajibé, mulané Tanah Jakarta banjur diaku ing VOC, JP Coen enggal mbangun Kutha Batawi, dipernata lan direjakaké. Ing sacedhaké palabuhan didokoki omah, jenengé "Kasteel" ing kono dununging papréntahané VOC. ing satanah Indhiya. Ing sarampungé prang Nanging ing tahun 1620 kabar saka Europa yèn para panggedhéné VOC. ing tanah Walanda rukun karo Compagnie Inggris. Kang iku ing tanah Indhiya uga Walanda karo Inggris iya kudu rujuk. Wosing prajangjian mangkéné: Siji sijining Compagnie nganggo pawitan dhéwé dhéwé sarta kena sudagaran ing satanah Indhiya, nanging prajangjian monopolie kang mau mau dilestarèkaké. Kulaké kudu bebarengan, oleh olèhané diparo. mung ing pulo pulo Moloko wong Inggris oleh saprateloné. Prakara perang dadi tetanggungané Raad van Defensie, kang dadi wargané wong Walanda lan Inggris genti gentèn saben sasi. JP. Coen banget ora senengé déné ana pranatan kaya mangkono iku, awit wong Inggris ora wenang oleh jajahané VOC, Wong Inggris rumangsa disengiti wong Walanda, mulané ing saolèh oleh rekadaya bisané males marang VOC. Walanda. Nalika wong Bandha mogok, kang ngojok ojoki wong Inggris. Sarèhné ana Raad van Defensie warga Inggris ora pati sarujuk ngukum marang kraman mau, JP. Coen banjur pratéla yèn wong Bandha kang wenang ndarbèni iya mung wong Walanda. JP. Coen nuli mangkat menyang Bandha, wong bumi diwisésa, dipatèni utawa dibuwang menyang Tanah Jawa. Pulo pulo Bandha didum marang para Walanda tilas punggawané Compagnie, nanging diwajibaké nandur pala, lan pametuné kudu didol marang VOC. Tindak sawenang wenang iku dadi cacade JP. Coen. Ing wiwitané tahun 1623 JP. Coen lèrèh marga saka panjaluké dhéwé. Kang gumanti jumeneng GG. saka panudingé Coen iya iku P. de Carpentier. Durung nganti sasasi enggoné dadi GG., de Carpentier Ana ing Bareng ditliti tliti, wong Jepang mau blaka yèn wong Inggris Tinemuning papriksan wong Inggris 9 wong Jepang 9 lan wong Portegis siji padha ngakoni, yèn pancèn duwè niyat kaya aturé wong Jepang mau. Nuli diukum kisas. Karampungané pangrèh Walanda ing Wong Inggris ing pulo Moloko padha lunga, ngejègi pulo Lagundi ana ing supitan Sundha, nanging sarèhné akèh kang mati utawa lara, banjur padha ngumpul ing Betawi. Ora antara lawas wong Inggris ana ing Betawi ora bisa rukun karo wong Walanda, nuli padha lunga menyang Banten. Wiwit adegé kutha Betawi tansah dibeciki: Coen wis ngadegaké pamulangan sarta murih ajuning dagangan, njupuki wong Cina saka Banten; kejaba iku Betawi uga dianani pangrèh kutha kang ngiras nyekel pangadilan. Carpentier wiwit nganakaké pajeg dhuwit kanggo mbecikaké tindhaking piwulang sarta pangadilan lan manèh gawé yeyasan kanggo mitulungi marang bocah Walanda kang lola. Lambang VOC. Yan Pieterszoon Coen |
Babad Tanah Jawi
|
15 Pérangan Kang Kaping Pindho
Bab 7 Karajan Mataram Nalika Mumbul Mumbule | ||||||||||||
Sadurungé Panémbahan Sénapati séda wis tinggal weling, yèn kang putra penenggah, Mas Jolang kang kalilan nampani warisan kraton Mataram, déné putrané pembayun, Pangéran Puger nrima jumeneng adipati ing Demak, nanging Pangéran Puger besuké ngraman, wasana asor.
Kejaba perang lan kang raka, Mas Jolang uga perang karo para adipati ing Bang Wétan. Ing tahun 1613 Sang Panémbahan séda. Sarèhné sédané mentas lelangen menyang Krapyak, nuli katelah nama Panémbahan Séda Krapyak. Sasédané Panémbahan Séda Krapyak kang gumanti jumeneng nata Radèn Mas Rangsang, ajejuluk Prabu Pandhita Cakrakusuma. Nalika jumenengé Kangjeng Sultan lagi yuswa 22 tahun; éwa semono Pangastané paprentahan piyambak baé, mung kala kala mundhut rembugé wong kang pinitaya, lan putusaning rembug banjur didhawuhaké marang para panggedhéning nagara. Sang Prabu bagus sembada dedeg piyadegé, tingalé wajar "mèmper mripating singa" pangagemané presaja, nyampingé bathik wernané putih lan biru (ayaké parang rusak), mekuthané putih (matak?). Yèn siniwaka, lenggahè ana ing dhampar cendhana kaapit apit ing pot pot kekembangan. Dhampar mau dunungé ana ing bangsal kang ajrambah jobin, dawa ambaning jrambah kira kira 3 mèter. Para kang séba nyadhong dhawuh, ngubengi bangsal mau, kèhe kira kira 300 utawa 400, kabèh padha sila makidupuh tanpa nganggo lèmèk, lan ora ana kang udut utawa nginang. Sinéwaka kaya mangkono mau ing dalem saminggu kaping pindho utawa luwih, para abdi dalem kang ora ngadhep nalika pinuju sinéwaka, utawa kang duwè laku ora patut, padha kagantungan paukuman abot. Dadi uripé para priyagung ing Karta iku ora merdika kaya adipati ing sajabaning Karta. Para adipati mau akèh kang sawenang, anggugu ing sakarepé dhéwé, wong cilik kang rekasa, padha dipeksa ngestokaké pajeg akèh. Kersané Sultan Agung Tanah Jawa iki kabèh karéha marang Mataram, senadyan bakal perang kang nganti suwé utawa ngetokaké wragad akèh iya bakal ditemah, mung angger bisa kelakon. Mungguh mungsuhé ana telu yaiku: para ratu ing Bang Wétan lan Madura, ratu ing Banten sarta Kumpeni. Déné Cirebon Nalika tahun 1615 Kangjeng Sultan nelukaké Lumajang, Sawisé iku Ing tahun 1617 Sultan Agung mbedhah Pasuruwan, ing tahun 1618 Pajang, lan ing tahun 1619 Tuban. Pangepungé kutha Surabaya ing tahun 1622 ora oleh gawé, nanging bareng ing tahun 1623 Madura kena dikalahaké, Sultan Agung ngajati mbedhah Surabaya manèh. Nalika iku Sultan Agung manggih akal, ora adoh saka cawangané kali Brantas, kali Banyu sethithik kang isih mili menyang Jalaran saka réka iku wong Wasana Tanah Jawa Wétan lan Tanah Jawa Tengah dadi kaerèh ing Mataram. Ing tahun 1625 Kangjeng Sultan banjur ajejuluk Susuhunan. Tepungé VOC. karo Mataram iku molah malih. Ing wiwitané padha becik. Sultan Agung nerusaké prajangjiané kang rama, yaiku: VOC. kena ngedegaké loji ana ing Jepara. Nalika iku Sultan Agung ngandika karo utusaning Compagnie: "Aku sumurup, yèn tumekamu ing kéné ora nedya nelukaké Tanah Jawa". Enggoné Walanda manggon ing Jepara iku mung supaya bisa ngirimaké beras. Nanging ing prakara iku wong Walanda tansah digawé pakéwuh déning Baureksa, bupati ing Kendhal. Malah baureksa lan bupati liyané padha ngréka daya, amrih wong Walanda aja menyang Karta sapatemon karo Sang Prabu. Awit saka iku VOC. lan para bupati padha congkrah. Ing sawijining dina Baureksa nukup wong Walanda, ana sawatara kang dipatèni lan ana pitulas kang dikunjara. Nalika iku Coen dhawuh ngobong Jepara, iya klakon kobong sapérangan (tahun 1618). Ing wektu semono Sultan Agung lagi perang ana ing Bang Wétan lan ora menggalih apa kang klakon ing Jepara. Bareng Coen ing tahun 1619 yasa kutha Betawi, lan Jakarta wis katekem ing tangané bangsa Walanda, sultan Agung muring banget marang VOC. Ora antara lawas dhawuh nglarangi adol beras marang Compagnie, amarga Coen wani wani awèh mriyem marang wong Surabaya. Sanadyan mengkonoa meksa ora dadi perang, awit sapisan Sultan Agung nedya golèk réka bisané wong Walanda ngakoni yèn kebawah Mataram, nganggo sarana kang alus, lan ping pindhoné samangsa dadi perang wong Walanda kuwatir yèn banjur ora bisa oleh beras babar pisan. Nalika Sultan Agung ngajak Walanda bebarengan mbedhah Banten, wong Walanda ora gelem, awit VOC, ora pracaya marang wong Mataram, marga Walanda Banten lan Mataram iku tansah memungsuhan, nanging Sultan Agung ora bisa ngalahaké, jalaran nalika iku prauné wong Jawa ora sepiraa kèhé lan mlaku dharat dalané angèl banget. Ing Tanah Jawa Kulon kang teluk marang Mataram mung ing Sumedhang (Priyangan) lan Nalika JP. Coen jumeneng GG. kang kapindhoné ing tahun 1628, ana utusan saka Mataram menyang Compagnie duwè panjaluk mangkéné: Sapisan Panémbahan enggoné arep nempuh Banten mundhut tulung marang Compagnie, kapindhoné JP. Coen didhawuhi utusan menyang Mataram ngaturaké bulu bekti. Panjaluk iku mau loro loroné ora dituruti. Ing sasi Agustus wayah bengi kasteel ing Betawi ditempuh ing bala Mataram saka pelabuhan. Ing dharatan ana baris gedhé kang ngepung kutha Betawi. Mangka cacahing prajurit Compagnie mung 3.800. Nuli JP. Coen tékad tekadan nempuh, prajurit Jawa bubar, malah banjur kepeksa mundur, awit Ing sasi April tahun 1629 ana utusan saka Mataram aran Warga ketemu GG. JP. Coen, jaréné perlu rembugan arep bedhami. JP. Coen Bareng ditakoni, prasaja yèn wong Mataram JP. Coen terus dhawuh ngobongi tandhon beras mau. Wusana bareng prajurit Mataram teka ing wewengkon Betawi enggal baé enggoné kentèkan pangan. Wadyabala Mataram wiwit gawé larèn nganti ketug sacedhaké kutha, JP. Coen nuli dhawuh ngrusak larèn mau. Sarèhné bala Mataram uga ketrajang lelara, wusana kepeksa mundur. Wiwit ing wektu iku karajan Mataram Ewa déné Sultan Agung sabisa bisa tansah ngarah gawé kapitunané Compagnie, kayata wong Mataram dilarangi dagang beras menyang Betawi, mangka Compagnie butuh banget. Utusan saka Betawi menyang Karta padha dicekel, sarta direngkuh abdi telukan, malah sawènèh ana kang dipatèni. Bareng sabedhahè kutha Malaka tahun 1641, wong Jawa ora kena dagang beras ana ing kono, dipeksa dagang menyang pelabuhan Betawi. Senadyan Sultan Agung durung karsa rukun, éwa déné kawula Mataram diidini lelawanan dedagangan manèh lan Compagnie ing Betawi. Wasana ing tahun 1646 Sultan Agung séda, wiwit ing wektu iku Mataram banjur rukun baé lan Compagnie. Karsané Sultan Agung arep ngerèhaké Tanah Jawa kabèh iku wis akèh kelakoné, nanging perang mau ndadèkaké karusakan ing Tanah Jawa. Nalika utusané VOC. ing tahun 1613 padha menyang Karta, para utusan padha éram ndeleng kèhing wong ing kutha kutha, kèhing beras pari apa déné kèhing wit witan tuwin tetanduran kang metu kasilé, nanging bareng antara limalas tahun manèh, akèh tanah tanah kang ora kadunungan wong, panggonan panggonan kang katrajang ing prang padha nandang paceklik lan kaambah ing pageblug. Mulané mengkono, marga Sultan Agung iku nggoné arep nggayuh karsané iku nganggo sarana kang nggegirisi, kayata: kabèh kawula kudu mèlu perang, durung nganti perang wong wong mau Gampang yèn mung arep bisa ngira ngira kèhing prajurit kang dilurugaké, yèn ngélingi pangepungé kutha Betawi kang ping pindhoné. Nalika iku ana prajurit 80.000 lan sing bali menyang Mataram durung ana seprapaté. Nalika nglurug Madura, kèhing prajurit nganti 160.000. Yèn ana wong sabangsa kalah perangé, kerep kelakon wong kabèh mau kapeksa ninggal tanahè. Nalika bedhahè Madura, kutha kutha lan désa désa ing kono mèh kabèh dirusak, para ratuné dipatèni, wongé cilik ana 40.000 kang dipeksa ngalih menyang Gresik lan Jaratan, jalaran ing kutha loro mau, marga saka perang kang uwis uwis mèh ora kadunungan ing wong. Adipati ing Sumedhang kapeksa urun bala akèh banget, nganti ing negarané (Priyangan) mèh entèk wongé. Sakalahè Wirasaba bupatiné kablenegaké ing banyu nganti tumeka ing pati, lan wong cilik diboyongi menyang Banyumas. Sultan Agung iku ora ngajèni nyawaning wong, nalika campuhe wadyabala Mataram ana ing Jalaran kang mangkono mau wong cilik padha ora bisa nggarap sawah, regané beras saya larang lan wongé saya ora kacukupan. wuwuh wuwuh kaambah ing pagering, mulané ing tahun 1618 lan 1626 akèh padésan ing Tanah Jawa kang wongé mung kari 1/3, kang 2/3 padha mati. Wragad perang iku iya ora sethithik, lan sing kudu nganakaké iya wong cilik, Sultan Agung ora kagungan welas marang mungsuh, malah sénapati lan prajurité dhéwé iya sok kapatrapan paukuman kang ora murwat, yaiku yèn perangé kalah. Miturut crita, saunduré wadyabala saka Betawi, Sultan Agung dhawuh matèni wong 4.000; wong samono mau kalebu para garwané baureksa, kang tiwas ana ing peprangan. Nalika perang Mataram JP. Coen Wasana ing tanggal 20 September 1629 gerahé banget dadakan, nganti dadi lan tiwasé. Bisané kelakon, mung yèn prajurité dharatan lan lautan sentosa, perlu kanggo ngukuhi kantor kantor ing Betawi, lan uga kanggo nanggulang ardané Mataram. Coen iku kena diarani wong pinunjul, katandha nalikané adegé Betawi bisa ngunduraké ardaning mungsuh nganti kaping pindho (Inggris lan Mataram) senadyan tansah karoban lawan, tindaké ana ing Moloko tetep diarani siya, éwadéné meksa klebu wong ambek sudira ing pakéwuh lan ora wegahan. Enggoné nglabuhi tanah wutah rahè tanpa pamrih nganti tekan ing pati. Sasédané GG. JP. Coen kang gumanti J. Specx (tahun 1629 - 1632) tumuli H. Brouwer 9tahun 1632 - 1636). Wiwit adegé A. van Diemen dadi GG., Compagnie ngancik ndedel dedelé, awit van Diemen pancèn GG. kang cakep ing bab sakabèhé. Dhèk samana VOC. perang manèh lan mungsuhé lawas yaiku bangsa Portegis. Ing tahun 1638 jajahané wong Portegis ing Ora antara suwé bètèng Malaka, kang kalebu sentosa banget, kinepung wakul lan diperangi bala VOC. Nganti suwé wong Portegis panggah. Ing tahun 1641 sénapati Walanda Caerteku dhawuh ngrangsang bètèng, wasana bedhah. Ing ngatasé wong Portegis ilangé kutha Malaka iku kerugian gedhé banget. Sarèhné banjur uga kélangan jajahan ing pasisiré tlatah Coromandel lan Malabar, wong Portegal prasasat tanpa panguwasa ana ing tanah Nalika bedhami ing tahun 1641 wong Portegis dipeksa nuruti baé. Mungguh ing ngatasé Compagnie, bisa oleh kutha Malaka kauntungan gedhé, awit ndadèkaké wediné para ratu bangsa bumi kabèh. Padagangané Malaka ngalih menyang Betawi. Nalika jamané GG. van Diemen kutha ing Betawi digedhèkaké lan dibecikaké. Jiwané 9.000, wong Walanda 3.000 luwih. Ing sajabané kutha wiwit akèh pasanggrahané para gedhé. Ing sajroning kutha wong laku dagang maju banget. Kacarita karajan Mataram ing wektu iku banjur rukun baé lan Compagnie. Ing tahun 1646 VOC. prajangjian karo Mataram (nalika jumenengé Mangkurat I). Ing saben tahun Compagnie kudu nglakokaké utusan menyang Mataram. Wong Jawa kena dedagangan ing sadhengah panggonan kejaba ing Moloko. VOC. lan Mataram padha déné ora kena ngréwangi mungsuhé. Ing sabakdané tahun 1629 kerep baé Banten memungsuhan lan Betawi, marga wong Banten ambubrah monopoliening VOC. karo wong Moloko. Pelabuhan Banten kerep banget dibarisi ing prau perang Walanda, dadi kutha Banten padagangané mati. Ing tahun 1645 Banten gawé prajangjian lan VOC. Dadi tetéla yèn panguwasané Compagnie tansah mundhak gedhé. GG. van Diemen arep nggedhékaké padagangan ing tanah Cina lan Jepang. Ing tahun 1642 ana wong Walanda, aran Abel Tasman njajah ngétan nemu pulo pulo anyar ing wewengkoné Tanah Nalika jaman Sultan Agung ana owah owahan bab umuring tahun. Kang dienggo tumekané jaman iku diarani tahun Saka, umure kaya déné tahun Christen ((+/- 365 dina) wiwité tahun nalika tahun christen Wiwit tahun Saka 1555 (= 8 Juli 1633) umure disalini manut lakuning rembulan ( 1 tahun = 355 dina) dicocogaké karo tahun Arab kang dhèk samono Tumekaning saiki kabèh mau isih dipacak ana almenak, kayata: 1 Januari 1925 = 5 Jumadilakir Dal Windu Sengara 1855 (Jawa) = 5 Jumadilakir 1343 (Arab). Gounerneur Generaal Van Diemen | ||||||||||||
Babad Tanah Jawi
|
16 Pérangan Kang Kaping Pindho
Bab 8 Kraman ing Moloko (1650 - 1653) Mataram Jamané Amangkurat I lan Amangkurat II. Kraman Trunajaya. Perang Banten. | ||||||||
Dhèk jamané GG. van Diemens VOC. ana ing pulo pulo Moloko nemu reribet, marga saka anané monopolie, tanah Moloko suda banget karaharjané, wong bumi padha ngrekasa uripé.
Wong cilik ora gelem netepi prajangjiané monopolie, padha laku dagang colongan. Punggawané VOC. nyirep kraman kanthi tindak keras. Nuli wong Moloko dibiyantu ing Sultan Ternate, mulané saya ndadra. Wasana GG. van Diemens tumindak dhéwé, tindaké keras nanging ndalan, temahan kraman bisa mendhak. Ing nalika jamané GG. Reiners (tahun 1650 - 1653) ing Ternate lan Wong bumi padha nggrundel ora trima, awit A. de Vlaming, Gouverneur ing kapulowan Moloko dhawuh mbabadi tanduran bumbu crakèn kang dianggep turah, murih ora ngedhunaké regané dagangan. Yèn wong bumi ora nuruti, prajurit VOC. lelayaran mrana ngrampungi pasulayan kanthi wasésa (hongi). Enggoné nyirep kraman A. de Vlaming kanthi kekerasan, akèh wong kang dipatèni utawa dibuwang . Wasana pulo pulo akèh kang suwung. Wiwit ing wektu iku dikenakaké nandur cengkèh mung wong ing Ambon lan pulo pulo cilik sisih wétan, kang kena nandur pala mung wong ing Bandha. Amarga saka anané planggeran mau wong bumi akèh kang padha kemlaratan. Wasana ora ana sranané kanggo mbangkang manèh. Bareng Moloko Hasanudin, ratu ing Makasar tansah nulungi wong bumi ing Moloko. Manèhé VOC. ora oleh idin ngadegaké loji ana ing karajan Makasar. Enggoné memungsuhan VOC. lan Hasanudin nganti ambal kaping telu. Wekasané ing tahun 1667 Cornelis Speelman didhawuhi nandangi Hasanudin. Aru Palaka ratu ing palaka mbantu Compagnie, jalaran karajané direbut kagamblokaké marang Makasar, rama lan éyangé Aru Palaka kapatènan ing Ratu Makasar. Putusaning perang Hasanudin kapeksa nganggep prajangjiané VOC. tahun 1667. Miturut jenengé papan prajangjian mau diarani prajangjian ing Bonggaya. Bedhahè Makasar iku ing atasé VOC. akèh banget pakolèhé, awit iku dadi dhedhasaring panguwasa ana ing Minangka ganjaran Aru Palaka didadèkaké ratu ing Boné. Surasané prajangjian ing Bonggaya prakara warna warna, kayata: Makasar lan Goa ngakoni pangayomané VOC. apa déné Florès lan Bangsa manca kang kena dedagangan ing Moloko mung VOC. baé. Wong Makasar kudu nglèrèni enggoné lelawanan dedagangan lan Moloko. Sasédané Sultan Agung ing Mataram tansah ana kraman utawa perang, ndadèkaké gempaling karajan. Kang misuwur iya iku kramané Trunajaya, sebabé mangkéné: 1. Pangéran Arya Prabu Adi Mataram kang nggentèni Sultan Agung, jejuluk Sunan Mangkurat I, kapinteran lan kekencenganing karsa ora mantra mantra timbang lan kang rama. Sarèhné wegah memungsuhan lan Compagnie, ing tahun 1646 lan 1652 prajangjian pamitran lan VOC. Surasané prajangjian 1652 ana kang nyebutaké bab tapel watesé jajahaning Compagnie sisih wétan, iya iku kali Citarum. Ing tanah Mataram akèh para gedhé kang nggrundel ora narima marang tindaké Mangkurat mau. 2. Sunan Mangkurat ala banget pangrèhé praja, jalaran ketungkul mbujeng marang kamuktèn nganti nukulaké panggalih siya. Para kawula gedhé cilik ora ana kang njenjem uripé, jalaran saka siyané Sang Prabu. Nalika jumeneng anyar anyaran nenumpesi mitrané kang rama akèh. Saking kalulute marang pakareman kang nistha nganti wentala mutahaké getihe wong kang tanpa dosa. Kaya déné nalika garwané kekasih séda, nuli dhawuh nyekel wong wadon 100 dikurung ing pasaréyan nganti mati kaliren. 3. Ing Madura ana sawijining Pangéran kang duwè tékad arep ngraman, manggedhéni para gedhé ing Mataram lan Madura, merangi Mangkurat. Pangéran mau wayahè Cakraningrat I ing Sampang saking amuyan, jenengé Trunajaya. Senadyan Trunajaya ora nduwèni waris kadipatèn, éwa déné ngarah jumeneng adipati ing Madura. Nalika kang paman jumeneng adipati, jejuluk Cakraningrat II gampang baé Trunajaya enggoné ngelun wong Madura, awit sang adipati tansah ana ing Mataram baé. Ing tahun 1674 kraman Tanah Jawa Wétan enggal ditelukaké. Bareng kraman saya mengulon, Mangkurat I saya kuwatir, nuli mundhut pitulungané Compagnie. Préntah ing Betawi kang sakawit mangu mangu, nanging bareng saya krasa kapitunan enggoné dedagangan marga saka panggawéning kraman, ing wasanané gelem tetulung. Ing kawitané prajurit Walanda kerep bisa mbalèkaké kraman saka sawènèhing panggonan, nanging saya suwé saya cabar, kraman saya maju, tanah pasisir lor lan Tanah Jawa Tengah pasisir wétan Préntah ing Betawi wiwit anggraita yèn pananggulanging kraman Trunajaya kudu ditumeni. Ing tahun 1677 ana wadyabala Compagnie menyang Jepara, disénapatèni Cornelis Speelman. Dhisike Trunajaya arep dirukun, nanging ora gelem. C Speelman nuli prajangjian: lan Sunan Mangkurat I, surasaning prajangjian: Compagnie bakal mitulungi Mangkurat, nanging njaluk liru ragading perang, undhaking jajahan, lan wewenang ing prakara dedagangan. C. Speelman banjur wiwit merangi kraman, nanging mung bisa ngejègi Surabaya, déné jajahané Trunajaya saya mundhak, malah wis bisa nggepuk Karta, kutha karajaning Mataram. Upacaraning kraton diboyong menyang Kedhiri. Sunan Mangkurat kèngser, tindak mangulon didhèrèkaké ing Sang Pangéran Adipati Anom. Mungguh kramané Kangjeng Sunan mau nedya ketemu panggedhéning Compagnie ing Jepara, nanging ana ing dalan séda (tahun 1677) kasarèkaké ing Tegal Arum. Nganti saprené Mangkurat I isih katelah nama Sunan Mangkurat Tegal Arum. Sasédané Sunan Mangkurat I Sang Pangéran Adipati Anom gumanti jumeneng nata, jejuluk Sunan Mangkurat II, nanging sasat ora jumeneng ratu, awit kang nganggep mung para kawula kang ndèrèkaké, malah kang rayi Sang Pangéran Puger, kang ana Mataram iya ngaku jumeneng Sunan. Sunan Mangkurat II banjur tindak menyang Jepara, mundhut tulung marang Compagnie, ngèstokaké dhawuhé kang rama. C. Speelman saguh mitulungi, nanging nganggo prajangji. Wosing prajangjian Jepara: VOC. nganggep ratu marang Mangkurat II VOC. kena dedagangan ing satanah Mataram, kena nglebokaké dedagangan ora wenang dijaluki béya. Jajahan VOC. mangidul tekan segara, mangétan tekan Cimanuk, apadéné kutha GG. Maetsuycker lan kèh kèhing para Liding Raad van Indie ora rujuk karo kareping para Bewindhebber, pangrehing VOC. ana ing tanah Walanda; aliya saka iku Trunajaya wis kegedhén panguwasané, mangka Sunan Mangkurat II wus prasasat tanpa daya, wuwuh wuwuh préntah ing Betawi lagi karépotan ora bisa oleh pitulungan saka nagara Walanda, tur nemu pakéwuh karo Banten. Ing tahun 1678 GG. Maetsuycker séda digentèni Rijkloff van Goens. Priyagung iku nemeni enggoné nandangi Banten. Rijkloff lan Speelman padha sabiyantu ngrampungi kraman Trunajaya, aja nganti kedhisikan ditempuh wong Banten. Rijkloff van Goens banjur ngutus wadyabala gedhé menyang Tanah Jawa Tengah nglurugi Trunajaya. Trunajaya iya metukaké, nanging suwé suwé keplayu marang Kedhiri. Kedhiri nuli dibedhah klawan rekasa, nanging Trunajaya oncat ngungsi marang pagunungan saloré gunung Kelut. Kapitan Ambon aran Jonker kautus ing Kangjeng Susuhunan ngelut playuné Trunajaya. Dalan dalan sakubengé pandhelikané Trunajaya dijaga prajurit, wusana Trunajaya nungkul. Kangjeng Susuhunan arep priksa marang Trunajaya nanging bareng disowanaké ing ngarsané, nuli diperjaya ing Sang Prabu piyambak (tahun 1680). Senadyan ing tahun 1652 Ing tahun 1656 kelakon dadi perang nganti tumeka tahun 1659. Ing salebaring perang mau VOC. meksa durung rukun karo Banten. Ing wektu samono kang jumeneng ing Banten Sultan Agung Abul Fatah utawa Tirtayasa. Sang Prabu pancèn ratu peng pengan, kang diudi mumbuling negara lan undhaking jajahan, mulané sengit banget marang Compagnie, awit digalih ngalang alangi pangelaring jajahan. Saka pambudidayané Sultan Agung kelakon kutha Banten bisa reja lan ramé. Wong Inggris, Denmarken lan Prasman padha oleh idin dedagangan ana ing Banten. Nalika kraman Trunajaya Sultan Agung ora gelem nganggep ratu marang Mangkurat II lan mitulungi marang Makasar mungsuhé VOC. Pangarep arepé yèn prajurit VOC., suda banget, wong Walanda banjur gampang kalahè karo Banten. Ing sesirepé kraman mau rèhné GG. Spellman Kabeneran banget ing atasé VOC. ing tahun 1682 ing Banten ana gègèr, jalaran Sang Pangéran Adipati Anom Abdul Kahar (banjur jejuluk Sultan Haji) lan rayiné Sang Pangéran Purbaya rebut kalenggahan Pangéran pati, iya iku biyantu kang rama ngasta papréntahaning negara. Sultan Haji rekasa banget, awit Sultan Agung mbiyantu Purbaya, nuli Sultan Haji njaluk tulung marang VOC., kang saguh arep nulungi, jangji wong Walanda ing Banten oleh monopolie. Sultan Agung banjur keplayu dioyak ing prajurit Compagnie. Bareng kecekel dikunjara ana ing Betawi nganti tekan ing sédané (tahun 1692). Wosé prajangjian ing tahun 1684 wong Inggris lunga saka Banten, nuli ngalih menyang Bengkulen. Kejaba iku VOC. wenang mèlu ngrembug ruwet rentenging nagara ing Banten. Wiwit ing jaman iku Cornelis Speelman Aru Palaka |







